Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mayoritas emiten yang tergabung dalam indeks LQ45 membukukan perbaikan kinerja tahun lalu. Secara sektoral, perbaikan kinerja dicatatkan oleh emiten perbankan dan tambang, baik batubara maupun logam.
Certified Elliott Wave Analyst Master Kanaka Hita Solvera Daniel Agustinus memproyeksikan emiten perbankan dan pertambangan akan bisa kembali mencetak kenaikan kinerja di tahun ini.
Kinerja sektor perbankan akan dipengaruhi oleh kebijakan Bank Indonesia (BI), yang cepat atau lambat diperkirakan akan menaikkan tingkat suku bunga mengikuti kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat, the Fed. Ditambah, dengan adanya inflasi akibat kenaikan harga barang-barang mendekati perayaan lebaran, kelangkaan minyak goreng, dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Diperkirakan, BI akan segera menaikkan tingkat suku bunganya di semester kedua ini. Saat ini, Bank Indonesia masih menegaskan bahwa suku bunga akan dipertahankan sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental, yakni inflasi inti.
“Kenaikan tingkat suku bunga ini akan mendorong kenaikan tingkat suku bunga kredit yang dapat menaikkan margin laba dari emiten perbankan,” terang Danniel saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (3/4).
Baca Juga: Mayoritas Emiten Indeks LQ45 Membukukan Kenaikan Laba Bersih di 2021
Sektor lainnya yang diperkirakan bisa bertumbuh adalah sektor ritel. Adanya momentum lebaran, pengendalian Covid-19 yang baik, dan pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) membuat aktivitas ekonomi kembali menggeliat, yang akan menjadi sentimen positif untuk sektor ritel.
Terlebih jika melihat data indeks keyakinan konsumen atau consumer confidence index di bulan Februari masih di sekitar 113,1, yang mencerminkan masyarakat semakin optimis kondisi ekonomi telah mulai berangsur pulih.
Untuk emiten pertambangan batubara, harga acuan batubara saat ini masih cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2021. Tingginya harga batubara merupakan imbas krisis energi di Eropa dan juga adanya krisis geopolitik di Ukraina. Daniel memperkirakan emiten pertambangan batubara juga masih akan mampu mencetak kenaikan kinerja tahun ini seiring dengan kenaikan harga komoditasnya.
“Hanya saja, adanya rencana pajak karbon yang diterapkan mulai Juli 2022 bisa sedikit menekan kinerja emiten pertambangan tahun ini,” sambung Daniel.
Selain emiten tambang batubara, emiten tambang logam juga diperkirakan masih punya prospek yang menjanjikan. Fauzan Luthfi Djamal, analis RHB Sekuritas Indonesia menyebut, solidnya harga nikel kemungkinan dapat bertahan, meskipun berpotensi terkoreksi dari rekor tertingginya seiring mulai meredanya konflik geopolitik.
Fauzan memperkirakan harga nikel rata-rata sepanjang tahun ini di level US$ 23.600 per ton atau naik 28% secara year-on-year (yoy). Ini berarti, harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) feronikel (Fe-Ni) milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) akan berada di kisaran US$ 19.300 per ton, naik 13% secara yoy dan memecahkan rekor tahun lalu.
Di sisi lain, bisnis emas ANTM diperkirakan bakal stabil. Harga emas kemungkinan akan berkisar antara US$ 1.700 dan US$ 1.800 per oz dalam jangka menengah. ASP emas milik ANTM tahun ini diperkirakan naik 1% yoy atau US$ 1.950. Salah satu sentimennya yakni meningkatnya kekhawatiran terhadap ketidakpastian global, yang telah meningkatkan permintaan aset safe haven.
PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) juga punya prospek cemerlang, salah satunya didorong oleh merangseknya MDKA ke bisnis nikel. Akuisisi terhadap perusahaan di sektor nikel akan memperjelas jalur strategis MDKA, yang menurut Fauzan akan menambah diversifikasi dalam portofolio bisnis MDKA.
Baca Juga: Dipengaruhi Rilis Data Ekonomi, Simak Proyeksi IHSG, Senin (4/4)
Fauzan juga meyakini tren positif harga komoditas akan bertahan untuk sementara waktu, didorong oleh permintaan yang solid untuk logam dasar. Ini didukung oleh tingkat harga yang lebih tinggi di tengah situasi pasokan yang terganggu.
Meski demikian, Daniel mencermati kinerja emiten di sektor barang konsumsi masih cukup berat. Untuk sektor tembakau, pemerintah baru saja menaikan tarif cukai tembakau rata-rata sebesar 12% di awal tahun ini. Hal ini masih akan menjadi katalis negatif bagi sektor tembakau, karena kenaikan cukai akan kembali menekan margin laba perusahaan.
Sedangkan untuk emiten konsumer seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) akan terimbas kenaikan harga komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang berfluktuasi di kisaran MYR 5.000-6.000 per ton. Sentimen ini diperkirakan bakal kembali menekan kinerja UNVR tahun ini.
Tahun lalu, kinerja emiten barang konsumsi seperti UNVR serta PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) masih tertekan. Menurut Daniel, pandemi Covid-19 turut menurunkan daya beli masyarakat.
Di jajaran LQ45, Daniel merekomendasikan buy on weakness saham PT Charoen Pokphand Tbk (CPIN) dengan target harga Rp 6.200 dan buy on weakness PT Astra International Tbk (ASII) dengan target harga Rp 7.300.
RHB Sekuritas mempertahankan rekomendasi beli (buy) saham ANTM dengan target harga Rp 3.450 dan beli saham MDKA dengan target harga Rp 5.600.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News