Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan harga batubara menjadi beban tersendiri bagi emiten semen. Sebab, industri semen merupakan salah satu industri yang menyerap kebutuhan batubara cukup banyak.
Kenaikan harga batubara membuat sejumlah emiten semen menaikkan harga jualnya. Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) Antonius Marcos mengatakan, seiring meningkatnya ongkos produksi akibat naiknya harga batubara, INTP sudah mulai melakukan penaikan harga.
Marcos menyebut, kenaikan harga jual tidak bisa dihindari. “Mau tidak mau dan merupakan pilihan yang sulit, kami sudah mulai melakukan kenaikan harga sejak bulan lalu di pangsa pangsa pasar tertentu,” terang Marcos kepada Kontan.co.id, Rabu (10/11).
Jikalau tidak ada penaikan harga, Marcos menyebut margin INTP akan terus tergerus. Namun dia menegaskan, INTP akan melakukan kenaikan harga secara hati-hati sambil terus mencermati perkembangan pasar.
Baca Juga: Volume penjualan meningkat, pendapatan bersih Indocement naik 4,5% per September 2021
Sebelumnya, PT Cemindo Gemilang Tbk (CMNT) juga menimbang adanya penyesuaian harga untuk mempertahankan margin. “Dari segi harga, kami akan terus memantau dinamika pasar secara keseluruhan,” terang Junarto Agung, Head of Investor Relations Cemindo Gemilang belum lama ini.
Analis Henan Putihrai Sekuritas Andreas Yordan Tarigan menilai, apabila emiten semen secara serentak menaikkan harga jual, tentu efeknya akan positif seiring dengan mulai pulihnya volume penjualan. “Menurut kami, apabila perusahaan-perusahaan menaikkan harga perlahan sesuai dengan naiknya permintaan, maka itu merupakan keputusan yang tepat,” terang Andreas kepada Kontan.co.id, Rabu (10/11).
Untuk meminimalkan dampak negatif kenaikan batubara, pemerintah pun melakukan intervensi. Melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 206.K/HK.02/MEM.B/2021, pemerintah menetapkan harga jual batubara sebesar maksimal US$ 90 per ton untuk industri semen dan pupuk.
Namun, peraturan harga khusus ini hanya berlaku per 1 November 2021 hingga 31 Maret 2022 mendatang.
Baca Juga: Dampak kebijakan harga batubara untuk industri semen dinilai tidak signifikan
Kepala Riset Yuanta Sekuritas Chandra Pasaribu menilai, dengan adanya harga domestic market obligation (DMO) untuk industri semen, kenaikan biaya bahan bakar emiten semen menjadi terbatas. Bagaimanapun juga, harga batubara tetap lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun lalu, sehingga kenaikan biaya produksi tidak dapat dihindari.
Di sisi lain, emiten semen juga dihadapkan dengan rencana penerapan pajak karbon bagi pengguna bahan bakar fosil seperti batubara. Chandra menilai, sejauh ini belum ada petunjuk pelaksanaan (juklak) yang jelas.
Dalam juklak tersebut, seharusnya terdapat ambang (threshold) jumlah emisi sebelum dikenakan pajak karbon. Jika pabrik semen berada di bawah batas ambang tersebut, berarti tidak ada dampak dari pengenaan pajak karbon terhadap emiten semen. Bahkan justru bisa jadi keuntungan jikalau ada mekanisme yang mengatur mengenai carbon credit.
“Jadi batas ambang emisi ini penting dan belum ada ketentuannya sehingga sukar diambil kesimpulan,” kata Chandra.
Baca Juga: Produsen Batubara Terpukul, Kali ini DMO ke Semen & Pupuk Dipatok US$ 90 Per Ton
Sebenarnya, INTP sudah mengambil ancang-ancang untuk menghadapi pengenaan pajak karbon dan mengurangi ketergantungan terhadap batubara. Marcos mengatakan, INTP telah menggunakan sejumlah bahan bakar alternatif seperti pemakaian ban bekas, sekam padi, hingga sludge oil.
Marcos menyebut, persentase pemakaian bahan bakar alternatif terus meningkat dari tahun ke tahun. Di satu sisi, saat ini INTP sedang dalam tahap pembangunan fasilitas pengolahan limbah menjadi listrik atau refuse derived fuel (RDF) di Nambo, Jawa Barat. Saat proyek besar Nambo selesai , Marcos menyebut akan menjadi katalis positif bagi INTP, dimana pemakaian RDF dari Nambo akan mengurangi pemakaian batubara.
Chandra menilai penggunaan bahan bakar alternatif tersebut memang cukup positif, namun dampaknya cukup terbatas. “RDF itu alternatif bukan substitusi, sehingga ada batasnya untuk menggantikan batubara. Tentu penggunaan RDF akan membantu, tetapi tidak bisa menggantikan (batubara),” pungkas dia.
Baca Juga: Pemerintah tetapkan harga batubara untuk semen dan pupuk US$ 90 per ton
Rekomendasi saham
Chandra masih mempertahankan sikap netral terhadap emiten semen. Chandra menilai, saat ini emiten semen tidak terlalu atraktif. Industri semen masih dibayangi kondisi kelebihan pasokan (oversupply) yang membatasi kemampuan emiten untuk menaikkan harga jual akibat kenaikan biaya bahan bakar.
Sementara Andreas merekomendasikan beli saham PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) dengan target harga Rp 10.800 per saham dari sebelumnya Rp 11.900 per saham.
Kenaikan harga batubara beberapa bulan terakhir kemungkinan besar akan menurunkan profitabilitas SMGR di kuartal keempat. Hal ini mengingat kontrak pembelian batubara dilakukan secara kuartalan.
Namun, menurut Andreas, harga batubara tentu tidak akan terus naik. Pemerintah China juga berencana untuk memasang cap pada harga batubara. Apabila harga batubara turun tentunya akan menjadi prospek bagus untuk emiten semen di tahun depan.
Untuk sisi pendapatan, Henan Putihrai Sekuritas memprediksi emiten pelat merah ini tidak akan mengalami kenaikan pendapatan yang signifikan di akhir tahun. Walaupun volume penjualan mengalami kenaikan, harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) masih dipertahankan di level rendah sampai bulan September 2021.
Baca Juga: DMO batubara berlaku, kinerja positif Indocement (INTP) diproyeksikan berlanjut
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News