Reporter: Grace Olivia | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gejolak pada nilai tukar rupiah tampaknya belum akan berakhir. Kendati Bank Indonesia telah mengerek suku bunga acuan sebanyak 100 basis poin sepanjang tahun ini, performa rupiah di hadapan dollar Amerika Serikat (AS) masih naik turun.
Di pasar spot, rupiah hari ini, Selasa (10/7), kembali ditutup melemah 0,26% ke level Rp 13.367 per dollar AS. Padahal, kemarin rupiah sempat menguat ke level Rp 13.330 per dollar AS. Adapun, sejak awal tahun rupiah mengalami depresiasi 5,99%.
Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) Winang Budoyo menilai, hingga akhir tahun rupiah memang masih akan diselimuti banyak sentimen global. Di antaranya, ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve dan perkembangan konflik perang dagang antara AS, China, dan Uni Eropa.
"Awalnya, rupiah melemah karena investor masih mempersepsikan Indonesia sebagai salah satu dari 'Fragile Five'," ujar Winang, Selasa (10/7). Fragile Five adalah negara-negara yang memiliki defisit transaksi berjalan cukup besar terhadap peroduk domestik bruto (PDB), yakni India, Afrika Selatan, Brasil, Turki, dan Indonesia.
Selain itu, tambah Winang, pelemahan rupiah juga dipicu yield obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang sempat melampaui 3%, sehingga membuat pasar beralih dari pasar obligasi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Apalagi, pelaku pasar juga kian optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi AS yang diproyeksi akan terus membaik sehingga kenaikan suku bunga acuan masih akan berlanjut hingga 2020.
Senada, Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga meyakini The Fed masih akan menaikkan suku bunga sebanyak 25-50 bsp lagi hingga akhir tahun. Bersamaan dengan itu, ruang bagi kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) juga ia prediksi masih terbuka sebesar 25 bsp.
"Selain merespon kenaikan suku bunga The Fed, BI perlu menaikkan suku bunga untuk mempertahankan capital inflow dan menutupi defisit transaksi berjalan yang berpotensi makin melebar hingga akhir tahun nanti," ujar Josua, Selasa (10/7).
Senior Vice President Bank Central Asia (BCA) Branko Windoe, menambahkan, BI masih terus perlu merespon kebijakan moneter The Fed agar aset dalam negeri tetap kompetitif di mata investor asing. "Tapi, kebijakan moneter juga harus diimbangi dengan kebijakan makroprudensial untuk menstimulasi perekonomian, misalnya kebijakan loan to value (LTV) yang sudah dilakukan, atau kebijakan likuiditas maupun regulasi yang dipermudah," papar Branko, Selasa (10/7).
Melihat kondisi rupiah yang sangat volatil sepanjang tahun ini, Branko memprediksi kurs rupiah masih akan berada di level Rp 14.000 saat tutup tahun nanti. Awal tahun, ia memprediksi rupiah bisa berada di level Rp 13.800 per dollar AS.
"Dari sisi faktor seasonal seperti hari raya, pembagian dividen, dan pembayaran cicilan utang luar negeri, semuanya sudah terlewati. Tapi nilai tukar rupiah masih tergantung dari seperti apa keputusan The Fed menaikkan suku bunganya," ujar Branko.
Josua juga mengaku telah mengubah proyeksinya terhadap posisi kurs rupiah di akhir 2018. Awal tahun, ia menargetkan rupiah akan berada di level Rp 13.500 - Rp 13.900 per dollar AS. Namun, ia merevisi targetnya menjadi Rp 14.000 - Rp 14.400 per dollar AS di akhir tahun nanti.
Sementara, Winang berpendapat, sejatinya sulit untuk memprediksi level rupiah di tengah kondisi saat ini. Pasalnya, pergerakan rupiah sangat bergantung pada supply dan demand yang terjadi di pasar. Namun, perkiraannya, nilai tukar rupiah di akhir tahun masih akan berkisar level Rp 13.800 - Rp 14.000 per dollar AS.
"Awal tahun proyeksi kami sebenarnya di Rp 13.500 - Rp 13.800. Untuk akhir tahun masih banyak faktor yang harus dilihat kembali, salah satunya ketidakpastian perang dagang yang bisa saja menekan rupiah lagi," kata Winang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News