Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina, Wahyu Satriani, Sunarti Agustina, Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat terobosan guna meredam dampak fluktuasi pasar saham dalam seminggu terakhir. Caranya dengan memangkas rantai proses pelaksanaan pembelian kembali (buyback) saham.
Langkah terobosan tersebut tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 02/POJK.04/2013 tentang pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh emiten dalam kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan. Beleid baru itu secara resmi dirilis, Jumat (23/8). Dengan keluarnya aturan tersebut, OJK membolehkan emiten buyback tanpa harus mengantongi persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS).
"Mulai Senin nanti, emiten sudah bisa persiapan, mereka harus membuat laporan dulu ke kami," kata Gonthor R Aziz, Direktur Komunikasi dan Hubungan Internasional OJK. Sejatinya pada beleid lama, langkah ini bisa diberlakukan oleh emiten jika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah turun 15% atau lebih.
Tapi, menurut Gonthor, OJK ingin mengambil langkah preventif. Jadi, sekarang emiten bolah melakukan aksi buyback saham, meski IHSG belum melorot hingga 15%.
Nah, nantinya, emiten diperbolehkan untuk buyback saham maksimal 20% dari modal disetor. Emiten baru bisa buyback jika sudah menyampaikan keterbukaan informasi kepada OJK dan BEI paling lambat tujuh hari bursa. Buyback tersebut dilakukan paling lama tiga bulan setelah keterbukaan informasi.
Selain itu, emiten juga bisa menjual kembali setelah 30 hari sejak buyback saham. Namun, harga pengalihan saham tidak boleh lebih rendah dari harga rata-rata buyback yang dilakukan emiten. Emiten juga wajib mengumumkan rencana penjualan treasury stock 14 hari sebelum tanggal pelaksanaan.
Nurhaida, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK menyatakan, kehadiran beleid baru ini tidak serta merta mencabut aturan lama buyback saham. Regulasi buyback memang telah diatur oleh Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan Nomor XI.B.2/2010.
Beleid itu membolehkan emiten menahan saham hasil buyback selama tiga tahun sejak pelaksanaan buyback. "Artinya, peraturan XI.B.2 tetap berlaku," kata Nurhaida kepada KONTAN, Jumat (23/8).
Kehadiran beleid baru ini sinkron dengan dorongan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada emiten pelat merah untuk melakukan buyback. Sudah ada tiga emiten BUMN, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Semen Indonesia Tbk (SMGR).
SMGR bahkan sudah menyiapkan dana Rp 500 miliar untuk buyback lantaran harga saham merosot. Toh, aturan maupun strategi buyback di saat pasar krisis tak sepenuhnya diapresiasi positif.
Jhon Veter, Managing Director Investa Saran Mandiri menilai, emiten belum perlu melakukan buyback saham. Sebab, imbal hasil buyback jauh lebih kecil dibanding untuk ekspansi. Hitungan Jhon, emiten hanya meraih imbal hasil 7% dari buyback. Sebaliknya, emiten bisa meraup imbal hasil 29% dari ekspansi.
Reza Nugraha, analis MNC Securities menambahkan, keuntungan dari buyback baru bisa diraih emiten dua-tiga tahun sejak buyback. Pergerakan saham setelah ambruk seperti sekarang membutuhkan waktu untuk naik signifikan.
Toh, investor bisa mengambil kesempatan dari strategi buyback emiten. Sebab, ketika emiten melakukan buyback, itu indikasi bahwa harga saham itu sudah terdiskon di bawah nilai wajarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News