Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perusahaan pertambangan memilih rights issue sebagai alternatif dalam strategi pendanaan. Sebut saja, PT Toba Bara Sejahtera Tbk (TOBA), PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk (BIPI), dan PT Siwani Makmur Tbk (SIMA).
Menurut Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif, pertambangan masih menjadi sektor yang menjanjikan, termasuk untuk komoditas batubara. Apalagi jika pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) masih belum siap untuk menggantikan energi fosil.
"Belum ada tanda-tanda bisnis batubara melambat di Indonesia, juga di Asia," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (16/6).
Hanya saja, paling tidak ada dua tantangan yang harus diantisipasi oleh perusahaan tambang, khususnya untuk komoditas emas hitam ini.
Pertama adalah menjaga kinerja di tengah harga yang bergerak sangat dinamis. "Masalah utama adalah bagaimana menjaga agar tidak terjadi super siklus harga batubara," ungkapnya.
Selain itu, ada tantangan yang harus dihadapi komoditas ini, yakni dalam hal masalah lingkungan atau emisi gas karbon.
Terkait dengan persoalan ini, kata Irwandy, sejumlah negara Eropa seperti Inggris dan Norwegia serta Amerika Serikat mulai meninggalkan batubara, yang juga diikuti dengan memperketat bahkan menghentikan akses pendanaan untuk batubara.
"Beberapa negara di Eropa akan meninggalkan batubara seperti Inggris, Norwegia sudah duluan. Ada pendanaan di Amerika Serikat yang dikhususkan untuk meninggalkan batubara," jelasnya.
Sehingga, dengan prospek dan tantangan tersebut, Irwandy menilai wajar jika ada perusahaan tambang yang ingin terus berekspansi di sektor ini atau pun ada perusahaan yang ingin memasuki lini bisnis komoditas ini.
Di sisi lain, wajar pula jika ada perusahaan tambang yang mencari pendanaan untuk melakukan diversifikasi bisnis di luar tambang batubara.
"Diversifikasi bisnis adalah wajar bagi perusahaan batubara, yang sudah dilakukan beberapa perusahaan sejak lama. Seperti Adaro, Bumi atau Pamapersada," terang Irwandy.
Sementara itu, dengan kondisi yang sudah disebutkan di atas, Irwandy berpandangan, masuk akal jika strategi pendanaan melalui penerbitan rights issue lebih dipilih oleh perusahaan tambang atau yang ingin masuk ke bisnis ini. Ketimbang memilih instrumen pendanaan lain, seperti pinjaman bank atau penerbitan global bond.
"Beberapa bank luar negeri sudah tidak memberikan kredit untuk perusahaan batubara. Meski semua cara bisa ditempuh sesuai strategi masing-masing baik pinjaman bank, rights issue maupun penerbitan bond," ungkapnya.
Senada dengan itu, Analis Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hardy menilai, pendanaan melalui instrumen pasar modal lebih murah dibandingkan instrumen utang dari perbankan.
Robertus juga berpendapat, penyelenggaraan rights issue oleh sejumlah perusahaan menandakan optimisme investor terhadap sektor yang bersangkutan.
Ia juga melihat sektor pertambangan masih sangat prospektif. Pada industri batubara, faktor kebutuhan (demand) yang masih tinggi, sedangkan pada komoditas mineral hilirisasi hasil tambang menjadi daya tarik untuk menjaga geliat sektor ini.
"Masih prospektif untuk jangka panjang, mengingat salah satu fokus pemerintah untuk lima tahun ke depan adalah hilirisasi hasil tambang," tandas Robert.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News