Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
Sementara sentimen positif bisa datang dari Pemerintah China yang saat ini telah berkomitmen untuk mencabut kebijakan ketat terkait Covid-19. Langkah kebijakan tersebut dinilai akan berdampak pada pembukaan jalur logistik kegiatan ekspor dan impor China yang selama ini dihentikan.
"Permintaan juga berpotensi meningkat dalam waktu dekat dengan adanya perayaan Tahun Baru China," terang Girta.
Konflik geopolitik Ukraina yang diperkirakan masih akan berlanjut di 2023 turut berdampak positif terhadap harga CPO.
Perang tersebut berpotensi membuat harga minyak nabati menguat dengan adanya gangguan pada jalur distribusi utama Laut Hitam. Sebagai produk substitusi, kenaikan harga minyak nabati akan mendongkrak kenaikan harga CPO.
Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Pilihan Emiten Barang Konsumen Primer di Tahun 2023
Kenaikan suku bunga yang berpotensi mendorong terjadinya resesi diakui menjadi salah satu sentimen negatif bagi permintaan CPO.
Namun, Girta menilai hal tersebut masih dapat disiasati dengan pemberian insentif misalnya diskon atau harga murah dari negara penjual ataupun pengurangan bea impor di negara importir utama. Sehingga permintaan tidak terlalu tergerus oleh resesi.
Girta memperkirakan harga CPO akan bergerak pada level resistance di kisaran harga MYR 5.000-5.250/ton di pertengahan tahun 2023. Namun apabila terdapat katalis negatif, maka harga berpotensi turun menuju level support di kisaran harga MYR 3.000-2.750/ton.
Mengutip Tradingeconomics pada Rabu (4/1) pukul 19.15 WIB, harga CPO berada di level MYR 4.169 per ton. Angka ini sudah melemah 1,89% secara harian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News