Reporter: Andy Dwijayanto, Dede Suprayitno, Elisabet Lisa Listiani Putri, Narita Indrastiti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Grup Artha Graha masih menyalakan proyek Signature Tower, proyek prestisius gedung pencakar langit tertinggi di Indonesia. Kini, lewat PT Danayasa Arthatama Tbk (SCBD), grup usaha yang dikendalikan taipan Tommy Winata itu tengah memburu dana untuk membiayai proyek tersebut.
Tak tanggung-tanggung, menurut Direktur Utama SCBD, Santoso Gunara, PT Grahamas Adisentosa, anak usaha SCBD, tengah menjajaki utang US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 18 triliun untuk membiayai proyek itu. SCBD menunjuk ICBC sebagai underwriter utang.
Saat ini ICBC tengah menggelar roadshow ke beberapa negara. SCBD berharap bisa mendapat utang berjangka 15 tahun. "Berdasarkan proyeksi kami, total bunga termasuk fee sekitar 6%," kata Santoso, akhir pekan lalu.
Santoso belum memerinci target pencarian utang tersebut maupun pelaksanaan proyek ini. Dia hanya menyatakan, realisasi proyek ini mempertimbangkan suplai dan demand properti di Jakarta.
Sebagai catatan, tahun 2012, SCBD sudah menjalin kerjasama dengan MGM Hospitality dari Las Vegas, Amerika Serikat. Kerjasama ini dalam rangka pengelolaan apartemen, hotel, dan convention center di Signature Tower.
Ferry Salanto, Associate Director Colliers International, menilai proyek ini tidak ekonomis jika direalisasikan dalam tiga tahun ke depan, misalnya tahun 2017, 2018 dan 2019. Sebab periode itu banyak suplai properti perkantoran maupun apartemen mewah.
Menurut dia, idealnya proyek ini direalisasikan setelah tahun 2019 agar sesuai dengan masa habisnya kontrak sewa gedung saat ini. Bahkan jika gedung tersebut bisa beroperasi lima tahun lagi, ia optimistis bakal ramai penyewa karena ekonomi diprediksikan membaik. Pun demikian, Ferry menilai, tak ada salahnya pengembang mulai mencari calon tenant gedung tersebut.
Hasan Pamudji, Associate Director and of Consultancy & Research Knight Frank Indonesia menilai wajar jika pengembang proyek ini berhati-hati merealisasikan proyek senilai US$ 1,7 miliar atau setara Rp 22 triliun itu. Sebab, selain besar investasinya, pasarnya pun terbatas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News