Reporter: Benedicta Prima | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak Covid-19 mewabah di Indonesia dan berdampak pada volatilitas bursa saham dalam negeri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengeluarkan bermacam kebijakan untuk menjaga stabilitas keuangan. Bagaimana tidak, setelah kasus pertama Covid-19 di awal Maret 2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh hingga 16,76% dalam satu bulan dari 5.452,7 menjadi 4.538,93.
Pada penutupan perdagangan Jumat (29/5), meski menguat 0,79% sejak penutupan April 2020, tetap saja IHSG bergerak di level 4.753,61. Belum kuat menyentuh angka 5.000, mengingat IHSG sempat menyentuh angka tertinggi 6.325 di Januari 2020.
Baca Juga: IHSG menguat 0,79% ke level 4.753 pada akhir perdagangan pekan ini, Jumat (29/5)
Bila dirangkum, kebijakan yang sudah ditelurkan self regulating organization (SRO) antara lain pelarangan short selling untuk sementara waktu, asimetris auto rejection dengan batas bawah 7% dan trading halt 30 menit untuk penurunan lebih dari 5% dalam satu hari, peniadaan perdagangan di sesi pre-opening, dan buyback saham tanpa melalui RUPS.
BEI dan OJK juga memberi pelonggaran batas waktu penyampaian laporan keuangan dan RUPS, penggunaan e-RUPS, relaksasi nilai haircut, relaksasi masa penawaran awal dan penawaran umum, dan masih banyak lagi, hingga adanya relaksasi perhitungan tingkat solvabilitas serta penggunaan tandatangan elektronik.
Sepertinya kebijakan-kebijakan yang disebut sebagai protokol krisis yang bersifat sementara itu masih akan diterapkan lebih lama, mengingat kasus Covid-19 belum juga usai sampai saat ini. Di sektor riil pun, pemerintah menggaungkan istilah kenormalan baru karena vaksin Covid-19 belum juga ditemukan. Kenormalan baru ini diartikan sebagai upaya menjalankan kembali aktivitas normal setelah pembatasan sosial, ditambah dengan protokol kesehatan guna hidup berdamai dengan Covid-19. Salah satu yang menjadi pertimbangan adanya kenormalan baru adalah tekanan pada roda ekonomi.
Deputi Komisioner Pengawas pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi mengatakan kebijakan-kebijakan tersebut diambil berdasarkan perkembangan kondisi makro dan mikro ekonomi yang terjadi.
“Penyesuaian atas kebijakan tersebut baru akan dilakukan apabila terjadi perubahan atas kondisi makro dan mikro ekonomi yang ada,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (29/5).
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo juga mengatakan hal serupa. “Masih dalam diskusi mengenai durasi dan kemungkinan relaksasi yang baru kalau ada. Kebijakan tersebut mestinya bersifat sementara dan bukan permanen,” jelas dia.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menilai sebetulnya paket kebijakan stabilisasi pasar keuangan tersebut sejauh ini sudah berjalan cukup baik karena sampai saat ini konsep new normal yang akan dipakai oleh pemerintah juga belum jelas. Sebab secara syarat, Indonesia sulit untuk membuka ekonomi karena jumlah test yang dilakukan belum mumpuni.
“Sehingga kalau kita pikir kebijakan otoritas yang sudah ada jangan dicabut dulu, relaksasi diberikan dulu, bahkan kalau perlu ada relaksasi bisnis riil. Saya juga diskusi dengan OJK mereka juga masih ada kebijakan yang belum mereka keluarkan, nanti baru mereka keluarkan kalau keadaan tidak terlalu baik,” jelas Hans.
Dia menambahkan, relaksasi kebijakan bisa dipertimbangkan untuk ditarik kembali apabila sudah ada kepastian mengenai vaksin Covid-19 sehingga tidak ada potensi gelombang kedua, dan roda ekonomi sudah kembali berputar seperti sedia kala.
Baca Juga: Relaksasi PSBB Demi Pemulihan Ekonomi
Kemudian mengenai larangan short selling yang dianggap menekan nilai transaksi dan volume menjadi mini, Hans justru menilai kebijakan ini lebih baik ketimbang IHSG anjlok kembali.
“Transaksinya tidak banyak, tetapi tentu ini agar kalau terjadi penurunan mendadak di pasar, tidak short-selling sehingga pasar jatuhnya tidak lebih banyak. Itu oke sih dibatasi,” imbuhnya.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan melihat kebijakan yang dikeluarkan oleh regulator menyasar dua hal yaitu soal stabilitas pasar dan pembatasan kegiatan seperti pembatasan jam perdagangan. Sejauh ini, kebijakan mengenai stabilitas pasar dinilai sudah cukup baik dan dengan adanya kasus suspensi Sinarmas akhir-akhir ini, Alfred menekankan bahwa regulator tetap harus mengutamakan stabilitas pasar.
Dalam hal ini juga termasuk pelarangan short-selling yang membawa konsekuensi kecilnya nilai transaksi, sebab bila dibuka kembali maka pasar bisa turun lebih dalam di tengah kondisi gejolak yang tinggi saat ini.
“Sejauh ini pasar modal sudah cukup baik dan yang dilakukan bursa berhasil meredam gejolak dan pembatasan aktivitasnya. Tinggal bagaimana mendorong atau memulihkan nilai transaksi kita yang lagi turun, permasalahannya tidak hanya di Covid-19 saja tetapi permasalahan yang sebelumnya di industri asuransi yang beririsan di pasar modal, itu jadi PR untuk target mendorong transaksi,” jelasnya.
Alfred menambahkan SRO tetap harus mengutamakan stabilitas sebagai pertimbangan utama untuk mencabut atau tetap menerapkan protokol krisis di tengah penerapan new normal di sektor riil. “kalau bicara mengenai pembatasan aktivitas, kan ini bicara sial mengurangi aktivitas di pasar modal, ini bisa dikembalikan lagi tetapi menyesuaikan aturan yang ada,” imbuh dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News