Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia beberapa waktu terakhir cenderung berada dalam tekanan. Hal ini dikarenakan investor global dan domestik dikhawatirkan dengan adanya kenaikan yield US Treasury yang sempat menyentuh level tertingginya di level 1,57% pada 5 Maret 2021 atau naik sebesar 70,30% secara year to date (ytd).
Pada akhirnya, kenaikan ini turut mengangkat kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun yang pada 23 Februari sempat menyentuh level tertinggi di sepanjang tahun 2021 di level 6,7%. Hingga 5 Maret, yield-nya pun cenderung belum mengalami penurunan yang signifikan, masih berada di level 6,6% atau naik 11,49% secara ytd.
Dengan naiknya yield obligasi, kinerja instrumen obligasi pun tertekan seiring penurunan harga obligasi yang pada akhirnya memukul kinerja reksadana berbasis pendapatan tetap. Hal tersebut tercermin pada kinerja Infovesta 90 Fixed Income Fund Index yang tercatat turun 1,60%.
Baca Juga: Reksadana pasar uang jadi reksadana dengan kinerja paling moncer di pekan lalu
Infovesta Utama dalam laporan mingguannya yang dikeluarkan pada Senin (8/3) mengatakan, kecemasan akan tren kenaikan imbal hasil ini juga diperparah dengan respon The Fed yang tidak akan mengubah kebijakan moneter dalam jangka pendek.
Tak hanya itu, kenaikan imbal hasil obligasi ini tidak hanya menjadi momok bagi instrumen investasi berbasis pendapatan tetap namun juga terhadap pasar saham. Di Amerika sendiri, kenaikan imbal hasil ini memicu pelemahan signifikan kepada saham sektor teknologi atau yang termasuk growth stock karena memiliki struktur hutang yang cukup tinggi.
Pasalnya, kenaikan imbal hasil obligasi ini dapat memicu kenaikan bunga kredit sehingga membatasi pemulihan ekonomi di Amerika yang dapat memberikan sentimen negatif terhadap pasar saham global dan tidak terkecuali Indonesia. Selain itu, kinerja IHSG masih akan cenderung berfluktuatif dalam jangka pendek seiring dengan sentimen negatif yang hadir seperti virus jenis Corona B117 jenis dari Inggris yang baru masuk ke Indonesia.
“Tapi, investor tidak perlu terlalu khawatir karena naiknya US Treasury ini merupakan euphoria dari investor untuk menarik uangnya dari obligasi negara berkembang seperti Indonesia dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang pasar obligasi Indonesia masih tetap menarik,” tulis Infovesta Utama dalam risetnya.
Baca Juga: Semakin diminati, industri reksadana berbasis ESG terus tumbuh
Hal ini didasari oleh ekspektasi kenaikan inflasi akan mereda seiring dengan rilis data tenaga kerja yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Di pasar saham juga masih ada sentimen positif yang diharapkan memicu penguatan IHSG pada pekan ini. Mulai dari disetujuinya paket stimulus AS senilai US$1,9 triliun, hingga masih adanya harapan penguatan di sepanjang 2021 seiring dengan ekspektasi pemulihan ekonomi.
Oleh karena itu, investor dapat menjadikan pelemahan pasar obligasi ini sebagai suatu momentum untuk mendapatkan harga yang lebih murah untuk reksadana berbasis pendapatan tetap.
“Namun untuk reksadana berbasis saham investor dapat wait and see dan masuk secara perlahan ketika sentimen negatif di pasar saham sudah mulai berkurang dan mengambil posisi average down di kala reksadana berbasis saham masih tertekan,” tutup Infovesta Utama.
Selanjutnya: Ramainya investor ritel di balik lonjakan saham-saham bank kecil
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News