Reporter: Grace Olivia | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan di pasar reksadana sepanjang bulan Agustus 2018 lalu turut dirasakan perusahaan manajer investasi PT Sucorinvest Asset Management. Kombinasi sentimen eksternal seputar tensi perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China dengan sentimen domestik pelemahan nilai tukar rupiah membuat pengelolaan portofolio investasi jadi kian menantang.
Jemmy Paul Wawointana, Plt CEO Sucorinvest Asset Management mengatakan, sentimen negatif paling terasa pada kinerja reksadana saham. Untungnya, dua reksadana saham besutan Sucorinvest antara lain Sucorinvest Maxi Fund dan Sucorinvest Sharia Equity Fund masih menoreh kinerja positif masing-masing sebesar 18,7% dan 16,4%.
"Kami memperbanyak koleksi saham di sektor yang berbasis ekspor seperti komoditas. Paling tidak, saham-saham itu mendapat keuntungan di tengah pelemahan rupiah," ujar Jemmy kepada Kontan.co.id, Senin (3/9).
Selain saham perusahaan yang berorientasi bisnis ekspor, Sucorinvest juga mengutamakan saham sektor konsumsi. Menurut Jemmy, selama bahan baku dari bisnis emiten tersebut tidak diimpor, saham emiten konsumsi cenderung tahan terhadap sentimen pelemahan rupiah.
Sementara, untuk mengatasi goncangan di pasar obligasi, Sucorinvest memilih memperbanyak koleksi obligasi korporasi yang tidak begitu fluktuatif. Seperti yang diketahui, kenaikan suku bunga acuan menggerus harga obligasi sehingga memengaruhi kinerja reksadana pendapatan tetap. Jemmy juga menyebut, Sucorinvest memperbanyak porsi pasar uang alias uang tunai sebagai strategi.
Ke depan, Jemmy melihat pelemahan kurs rupiah masih akan terus menjadi hambatan bagi kienrja reksadana. "Saya pikir melihat posisi saat ini, rupiah sangat mungkin melemah lagi ke level Rp 15.000 per dollar AS dan ini akan mempengaruhi kinerja emiten, kondisi suku bunga, kinerja perbankan, dan perekonomian secara keseluruhan," ujar Jemmy.
Kendati begitu, ia menyarankan agar investor tidak bersikap panik. Dengan kacamata investasi jangka panjang, kondisi saat ini justru lebih baik dimanfaatkan untuk masuk ke pasar. "Dengan catatan, masuk pada timing yang tepat," imbuh Jemmy.
Ia mencontohkan, investor bisa memilih masuk ke pasar saham saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh level 5.500. Sementara di pasar obligasi, investor bisa menunggu sampai yield obligasi tenor 10 tahun mencapai level 8,5%. Sambil menunggu itu, instrumen pasar uang memang jadi pilihan yang paling aman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News