Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persepsi risiko Indonesia kembali meningkat di tengah tren pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Tekanan bertambah mengingat para investor masih dikhawatirkan pada kondisi fundamental ekonomi dalam negeri yang belum sepenuhnya aman.
Mengutip Bloomberg, credit default swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun pada perdagangan Selasa (9/10) berada di level 147,31. Angka ini melonjak 13,21% dibandingkan posisi di akhir bulan lalu. Bahkan, kemarin CDS Indonesia tenor 5 tahun menyentuh posisi tertingginya sejak 5 September 2018 di level 148,64.
Tren kenaikan juga terjadi pada CDS Indonesia tenor 10 tahun. Kemarin (8/10), CDS Indonesia tenor 10 tahun bertengger di level 222,59 alias meningkat 4,8% dibandingkan posisi di akhir September lalu.
Research Analyst Capital Asset Management Desmon Silitonga mengatakan, kenaikan CDS Indonesia sejalan dengan volatilitas rupiah yang meningkat tajam di awal Oktober. “Risiko berinvestasi di Indonesia terus meningkat semenjak rupiah menginjak level Rp 15.000,” ujar dia.
Volatilitas rupiah sebenarnya lebih didominasi oleh faktor global seperti efek kenaikan suku bunga acuan AS hingga tren kenaikan US Treasury dan harga minyak mentah dunia. Alhasil, bukan Indonesia saja yang mengalami peningkatan level CDS, melainkan juga negara-negara emerging market lainnya.
Lihat saja, CDS tenor 5 tahun milik India pada perdagangan kemarin juga mencapai posisi tertingginya di level 105,18.
Namun demikian, Indonesia tetap wajib waspada. Pasalnya, pelemahan rupiah yang cukup dalam terjadi di saat permintaan dollar AS masih tergolong tinggi. Apalagi, jelang akhir tahun kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri Indonesia berpotensi meningkat, baik dari sisi pemerintah maupun swasta.
Di sisi lain, Indonesia belum bisa menggenjot ekspor secara signifikan sehingga pasokan dollar AS di dalam negeri cenderung terbatas. Tak heran defisit transaksi berjalan Indonesia bisa semakin melebar akibat data neraca perdagangan Indonesia yang belum membaik.
Faktor ini turut membuat investor asing khawatir untuk berinvestasi di Indonesia di saat ketidakpastian global masih menjadi hantu bagi pasar keuangan domestik dan negara emerging market lainnya. “Investor global lebih memilih mengamankan dananya ketika risiko suatu negara meningkat,” imbuh Desmon.
Kenaikan risiko investasi yang terjadi akhir-akhir ini terbukti mengurangi daya tarik pasar keuangan Indonesia. Di pasar obligasi pemerintah misalnya, sejak 3-5 Oktober investor asing berturut-turut mencatatkan net sell dengan total dana sebesar Rp 6,37 triliun menjadi Rp 849,79 triliun.
Pendapat serupa diutarakan ekonom Samuel Sekuritas Indonesia, Ahmad Mikail. Walau inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terbilang positif, persepsi risiko investasi Indonesia tetap saja meningkat. Sebab, investor asing belum melihat adanya upaya signifikan dari pemerintah untuk mengurangi defisit transaksi berjalan.
Kebijakan seperti kenaikan pajak penghasilan (PPh) impor yang diberlakukan sejak pertengahan September lalu kemungkinan baru akan terlihat dampaknya jelang akhir kuartal IV nanti. Sedangkan penerapan kebijakan B20 masih menemui hambatan di lapangan. “Implementasi kebijakan-kebijakan pengendalian impor pemerintah masih menimbulkan tanda tanya di kalangan investor asing,” terang Mikail.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News