Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rupiah kini anteng di level Rp 10.000-an per US$ 1. Ke depan, banyak pihak yang memprediksi rupiah tidak akan mampu untuk rebound lagi ke level Rp 9.200-an seperti beberapa waktu silam. Tentu hal ini membikin kepala para importir pusing tujuh keliling. Tak terkecuali dengan para emiten kita.
Hasil riset UBS Securities akhir bulan lalu tentang peluang sektor saham tahun 2009 menyebutkan, emiten yang paling terpukul dengan tren depresiasi rupiah ini adalah para emiten farmasi. Maka itu, saham sektor ini ada baiknya dihindari.
Hal ini bukan lah sesuatu yang mengagetkan, mengingat bahan baku untuk produk obat kebanyakan masih harus diimpor dari mancanegara. "Komponen impornya mencapai 90%," ungkap Analis Danareksa Securities Yoga Prakarsa.
Dolar yang mahal sudah tentu membuat biaya produksi obat akan bengkak. Pada saat yang bersamaan, produsen obat tidak bisa serta merta mengerek harga jual obat ke konsumen karena terhadang aturan batas atas harga jual obat. "Kecuali obat berlisensi, untuk jenis obat generik dan generik bermerek ada batas atas harga jual," tambah Yoga.
Selain nilai tukar, prospek emiten farmasi juga banyak bergantung pada tingkat daya beli masyarakat. Maklum, saat ini para produsen obat sangat mengandalkan demand domestik. “Sedikit sekali obat kita yang diekspor," lanjut Yoga.
Dus, jika inflasi mencekik, boleh jadi penjualan obat akan seret. Inilah yang membikin pamor saham farmasi sedikit suram ke depan. Saat ini ada dua produsen obat yang melantai di bursa yakni PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dan PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News