Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah masih akan disetir oleh faktor eksternal. Hal itu seiring dolar Amerika Serikat (AS) tetap tangguh berkat permintaan yang meningkat dikala perang dan suku bunga tinggi yang lebih lama (higher for longer).
Pengamat Mata Uang Ariston Tjendra mengatakan, saat ini dolar masih menggiring pelemahan rupiah, baik itu dipengaruhi soal konflik maupun soal ekspektasi kebijakan pemangkasan suku bunga The Fed.
Ditambah lagi, bulan-bulan dekat ini memasuki periode permintaan tinggi untuk repatriasi dividen maupun pembayaran utang luar negeri. Sehingga rupiah tidak serta merta bakal menguat, walau Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga jadi 6,25%.
Ariston mencermati, imbal hasil (yield) SUN tenor 1 tahun dan 10 tahun juga terlihat meningkat dalam 9 hari kerja terakhir. Kenaikan ini biasanya mencerminkan kondisi tekanan jual masih besar dengan pelaku pasar masih ramai tinggalkan Indonesia.
Baca Juga: Rupiah Menguat di Pekan Ini, Berkat Data Perdagangan yang Solid dan Intervensi BI
“Sentimen naiknya yield ini juga mengindikasikan bahwa rupiah tengah berada dalam tekanan,” ujar Ariston kepada Kontan.co.id, Jumat (26/4).
Ariston melihat, The Fed nampaknya sudah mengambil sikap tidak terburu-buru memangkas suku bunga acuannya seiring data inflasi yang belum kunjung turun ke 2%. Sehingga, waktu pemangkasan bunga acuan Fed kemungkinan mundur pada September atau tidak sama sekali, tergantung data inflasi.
Oleh karena itu, pasar akan selalu memantau data inflasi Amerika di antaranya CPI, PPI atau Core PCE Price Index. Menurut Ariston, apabila data PCE AS nanti malam terlihat tendensi menurun, maka ekspektasi suku bunga dipangkas bakal menguat dan dolar AS bisa tertekan. Sebaliknya, rupiah bakal menguat.
“Kalau kekhawatiran pasar terhadap eksternal mereda dan mungkin dari internal berhasil memperbaiki defisit current account menjadi surplus, maka rupiah bisa menguat lagi ke Rp 15.000 per dolar AS,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News