Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Nilai tukar rupiah akhirnya menembus angka psikologis Rp 12.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan, kurs mata uang garuda sempat menyentuh Rp 12.225 per dolar AS pada tengah hari kemarin.
Ekonom Bank International Indonesia, Juniman melihat permintaan valuta asing (valas) dari individu semakin meningkat dari hari ke hari. Kalau observasi Juniman benar, berarti ketentuan yang mengharuskan pembeli valas di atas US$ 100.000 per bulan mencantumkan dokumen underlying transaction masih belum bisa mengerem hasrat warga Indonesia terus berspekulasi memborong valas.
Artinya, Bank Indonesia (BI) perlu mengkaji kembali peraturan ini. Bisa jadi, batas nilainya memang masih terlalu besar sebagaimana kritik Direktur jenderal pajak Darmin Nasution.
Sedangkan Ekonom Bank BNI Tony Prasentiantono melihat dari sisi lain. Ia yakin sebelum pemerintah memberikan jaminan penuh terhadap dana simpanan nasabah di bank, masyarakat akan lebih memilih menyimpan duitnya dalam bentuk valas. "Kepercayaan masyarakat terkait pada persepsi kemampuan finansial pemerintah," ujar Tony.
Menurut catatan Tony, nasabah yang memiliki simpanan di atas Rp 2 miliar hanya 1% dari total nasabah. "Namun nasabah minoritas itu memiliki total simpanan mencapai Rp 600 triliun," katanya.
Tapi, penjaminan terhadap seluruh dana masyarakat di perbankan juga kontroversial. Penjaminan menyeluruh berpotensi menimbulkan moral hazard di kalangan bankir.
Sejauh ini, BI belum melihat kebutuhan yang mendesak untuk mengambil langkah drastis lagi. BI menilai pelemahan ini masih realistis. Gubernur BI Boediono mengatakan, "Saya kira ada kebutuhan dolar AS yang meningkat menjelang pertengahan bulan. Ini masalah supply dan demand," katanya, kemarin (18/11).
BI pun berjanji akan tetap menjaga rupiah. "Kami tidak akan membiarkan pasar membuat kurs menjadi tidak realistis," kata Boediono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News