Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah diperkirakan bergerak volatile dengan potensi melemah pada semester I 2025. Ketidakseimbangan dalam penawaran dan pasokan rupiah berpotensi menekan rupiah.
Hal itu seiring pernyataan Bank Indonesia (BI) mengenai potensi tekanan pada rupiah akibat musim repatriasi dividen pada bulan Mei dan siklus puncak pembayaran utang luar negeri pada bulan Juni.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menerangkan, kebutuhan untuk mengonversi rupiah menjadi mata uang asing untuk repatriasi dividen dan pembelian valuta asing untuk pembayaran utang secara langsung meningkatkan permintaan mata uang asing, khususnya dolar AS.
Sementara itu, tindakan investor menjual rupiah untuk membeli mata uang asing dan entitas Indonesia menukar rupiah dengan valuta asing meningkatkan ketersediaan rupiah di pasar valuta asing. Ketika permintaan suatu mata uang menurun relatif terhadap penawarannya, nilainya cenderung melemah.
"Dalam konteks ini, peningkatan permintaan mata uang asing dan peningkatan pasokan rupiah dapat menyebabkan pelemahan nilai rupiah terhadap mata uang asing tersebut, terutama dolar AS," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (8/5).
Baca Juga: Rupiah Jisdor Menguat 0,22% ke Rp 16.497 per Dolar AS pada Kamis (8/5)
Sutopo menuturkan, secara historis periode-periode ini sering kali bertepatan dengan pelemahan rupiah akibat dinamika permintaan dan penawaran di pasar valuta asing. BI umumnya menyadari tekanan musiman ini dan kerap mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan rupiah, seperti membeli rupiah di pasar spot menggunakan cadangan devisa untuk mengurangi pasokan rupiah dan memenuhi permintaan mata uang asing.
Lalu melakukan intervensi di pasar non-deliverable forward (NDF) untuk mengelola ekspektasi dan meredakan tekanan spekulatif terhadap rupiah. Kemudian, menawarkan opsi investasi berdenominasi rupiah yang menarik untuk mempertahankan dana asing di dalam negeri, berkolaborasi dengan pemerintah untuk mengelola kebutuhan dan arus keluar mata uang asing, dan menerapkan regulasi terkait repatriasi hasil ekspor untuk meningkatkan pasokan mata uang asing di pasar domestik.
"Dampak aktualnya akan bergantung pada besarnya repatriasi dividen dan pembayaran utang, kondisi pasar global, serta efektivitas langkah-langkah intervensi yang diambil oleh BI," sebut Sutopo.
Adapun cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan pada bulan April 2025. Penurunan ini terutama disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan intervensi BI untuk menstabilkan rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Meskipun terjadi penurunan, BI menyatakan bahwa tingkat cadangan devisa saat ini masih memadai, cukup untuk menutupi 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
"Tingkat ini jauh di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor," lanjut Sutopo.
Sutopo memperkirakan rupiah pada semester I 2025 condong ke arah volatilitas yang berkelanjutan dan potensi pelemahan. Menurutnya, kekuatan dolar AS, ketidakpastian perdagangan global, dan kekhawatiran tentang kebijakan fiskal kemungkinan akan membuat rupiah terus tertekan.
Intervensi BI dan penyesuaian kebijakan moneter akan menjadi faktor kunci dalam memitigasi penurunan tajam. "Kisaran rentang harga ada di Rp 16.500 - Rp 17.000 per dolar AS.
Baca Juga: Rupiah Spot Ditutup Menguat 0,21% ke Rp 16.502 per Dolar AS pada Kamis (8/5)
Selanjutnya: Saham BBCA, BBRI, dan BMRI Turun pada Kamis (8/5), Cek Kinerja Bank Blue Chip LQ45
Menarik Dibaca: DANA & Ant International Targetkan 5.000 UMKM Perempuan Belajar Bisnis hingga AI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News