Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rupiah terapresiasi berkat petunjuk yang lebih jelas dari Federal Reserve (The Fed) terkait arah suku bunga. Potensi pemangkasan suku bunga dapat kembali memikat aliran investasi ke negara berkembang seperti Indonesia.
Mengutip Bloomberg, Kamis (21/3), rupiah spot ditutup menguat 0,35% ke level Rp 15.668 per dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan ini mematahkan tren pelemahan rupiah yang sudah terjadi dari awal pekan.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana mengatakan, penguatan rupiah dipengaruhi oleh keputusan Bank Indonesia (BI) yang mempertahankan suku bunga di level 6% pada Rapat Dewan Gubernur BI (RDG BI), Rabu (20/3). Keputusan tersebut dinilai sangat pro-stability untuk nilai tukar rupiah.
Langkah BI itu tidak terlepas dari keputusan FOMC The Fed yang mengindikasikan pemangkasan sebanyak tiga kali di tahun 2024 yang kemungkinan dimulai pada semester kedua 2024. Meski besaran suku bunga The Fed yang akan dipangkas turun dari 100 basis poin (bps) menjadi 75bps.
Baca Juga: Melemah Sejak Awal Tahun, BI Optimistis Nilai Tukar Rupiah Masih Stabil
“Walaupun jumlah pemangkasan suku bunga lebih rendah tetapi penurunan akan dilakukan secara gradual (bertahap) tahun ini, sehingga rupiah akan terjaga,” ucap Fikri kepada Kontan.co.id, Kamis (21/3).
Hanya saja, Fikri menuturkan, rupiah mungkin masih tetap di bawah tekanan dolar AS sampai suku bunga acuan AS dan suku bunga Indonesia mulai diturunkan. Pasalnya, The Fed belum memberikan keterangan jelas terkait kapan suku bunga diturunkan dan seberapa besar penurunannya.
Dalam kondisi ketidakpastian itu, risiko dana keluar (capital outflow) bisa saja terjadi karena ekspektasi pemangkasan suku bunga Fed berdampak pada penurunan yield US Treasury. Investor biasanya mencari safe haven asset seperti obligasi AS di tengah ketidakpastian.
“Barulah nanti ketika nasib suku bunga sudah semakin jelas, dana akan mengalir lagi ke emerging markets seperti Indonesia,” jelas Fikri.
Baca Juga: Inflasi Rawan Naik, Rupiah Masih Dibayangi Suku Bunga Tinggi Amerika
Terlebih lagi, fundamental rupiah saat ini sedang tidak baik-baik saja karena potensi defisit neraca transaksi berjalan (current account). Proyeksi itu mengingat surplus neraca dagang susut yang bisa berefek pada defisit neraca transaksi berjalan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan RI surplus sebesar US$0,87 miliar pada Februari 2024. Meski surplus, angkanya turun sebesar US$1,13 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.
Selama periode Januari-Februari 2024, neraca dagang juga mengecil menjadi hanya US$2,87 miliar, turun US$6,42 miliar dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Sehingga ini berpotensi berdampak untuk neraca transaksi berjalan alami defisit pada kuartal I-2024.
Dengan demikian, lanjut Fikri, rupiah masih akan sulit mengalahkan dolar AS. Namun, Bank Indonesia kemungkinan tidak akan tinggal diam untuk menjaga nilai tukar rupiah.
Baca Juga: BI Pastikan Kenaikan Suku Bunga Jepang Tak Berdampak ke Rupiah
Fikri menyebut, BI akan berusaha mendorong likuiditas dengan cara melakukan pembelian Surat Utang Negara (SUN) tenor menengah panjang. Kemudian, BI mungkin bakal menawarkan instrumen SVBI dan SUVBI yang berbentuk valas untuk menarik aliran dana dari luar negeri.
Di samping itu, beruntungnya kondisi fiskal Indonesia masih memiliki ruang yang besar seiring pemilu dilaksanakan hanya satu kali. Sehingga, anggaran pemilu tadi bisa dimanfaatkan untuk dorong laju perekonomian. Tetapi patut ditunggu pula kebijakan fiskal di bawah pemerintahan baru.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Fikri berharap rupiah dapat terapresiasi di kuartal III dan kuartal IV-2024, jika memang ada pembalikan arah ke negara berkembang dan situasi politik sudah semakin aman. Rupiah diproyeksi bergerak dalam rentang Rp 15.450 per dolar AS–Rp 15.500 per dolar AS di akhir tahun 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News