Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Resesi ekonomi yang terjadi pada Jepang dan Inggris meningkatkan risiko pada mata uang negara tersebut. Yen Jepang (JPY) ataupun poundsterling Inggris (GBP) dibayangi potensi pelemahan nilai tukar.
Analis PT Finex Bisnis Solusi Future Brahmantya Himawan mengatakan, dampak signifikan setelah suatu negara dinyatakan resesi salah satunya mata uang negara tersebut dapat terdepresiasi. Hal ini karena kemerosotan ekonomi sering kali menyebabkan penurunan suku bunga dan berkurangnya kepercayaan terhadap mata uang yang terdampak.
“Sehingga mendorong investor untuk mencari imbal hasil yang lebih tinggi di tempat lain,” kata Bram kepada Kontan.co.id, Selasa (20/2).
Bram mencontohkan JPY yang sudah lama menjadi mata uang safe haven mengalami tekanan dari turunnya Produk Domestik Bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut, sehingga kepercayaan berkurang terhadap yen.
Baca Juga: Harga Emas Merangkak Naik Karena Pelemahan Dolar AS
Kondisi tersebut mendorong kenaikan pada Nikkei 225 atau JP 225 menuju all time high (ATH) dan juga kenaikan harga emas seiring banyaknya perpindahan aset.
Yen masih sulit bangkit dari keterpurukan selama tahun 2023. Walaupun sempat menguat tajam di penghujung tahun, yen Jepang menutup tahun lalu dengan pelemahan sebesar -7,5% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Bram melihat, Yen berpotensi terus melemah lebih dalam karena resesi merupakan proyeksi atau penggambaran melambatnya perputaran ekonomi di Jepang. Pertumbuhan juga cenderung lesu yang terbukti dari kinerja ekonomi yang turun. Saat ini peringkat Jepang merosot dan disusul Jerman, yang tidak lagi menjadi negara ekonomi terbesar ketiga di dunia.
Sementara itu, mata uang Poundsterling dibebani kondisi suku bunga tinggi di Inggris yang mencoba mengimbangi The Fed dalam menetapkan kebijakan suku bunga ketat. Hanya saja, inflasi Inggris tidak kunjung turun walau telah rajin mengerek suku bunga dalam 2 tahun terakhir.
“Inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi menjadi lesu. semua sektor utama melemah, bahkan proyeksi pertumbuhan menjadi yang terburuk sejak 2009 untuk Inggris,” jelas Bram.
Menurut Bram, apabila resesi dan ketidakpastian ekonomi terus terjadi, maka banyak investor yang akan mengalihkan aset mereka ke aset safe haven seperti emas dan mata uang safe haven seperti dolar AS (USD) dan dolar Australia (AUD) yang didukung tangguhnya perekonomian.
Baca Juga: Jelang Hasil RDG Bank Indonesia, Rupiah Ditutup Melemah Pada Selasa (20/2)
Bagi USD, tahun ini diperkirakan masih akan ditopang oleh kondisi suku bunga tinggi. Hal tersebut karena mempertimbangkan perilisan angka inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI) teranyar yang masih lebih tinggi dari ekspektasi.
Sehingga, ini memberikan informasi pasar untuk lebih sabar menanti pemangkasan suku bunga karena berpotensi tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Sedangkan AUD bakal didukung permintaan emas yang secara tidak langsung berdampak bagi mata uang Australia tersebut sebagai negara dengan tambang emas besar. Secara historis, jika harga emas naik, maka AUD biasanya juga ikut naik.
Secara umum, Bram memaparkan bahwa tindakan yang diambil oleh bank sentral dunia dan pemerintah terkait kebijakan moneter dan fiskal dapat memiliki dampak besar pada pergerakan pasar mata uang.
Keputusan tentang suku bunga, stimulus ekonomi, dan kebijakan fiskal dapat memengaruhi kepercayaan investor. Di samping itu, konflik geopolitik, perjanjian perdagangan, dan ketegangan internasional dapat memicu ketidakpastian dan mempengaruhi mata uang.
“Peristiwa politik dan keamanan global dapat menciptakan fluktuasi pasar yang signifikan seperti yang terjadi saat ini dapat kita lihat Ukraina Vs Rusia, Konflik Timur Tengah dan Jalur Laut Merah. Hal ini dapat membuat fluktuasi pasar mata uang dan memengaruhi negara – negara penghasil komoditas,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News