Reporter: Nova Betriani Sinambela | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) pada semester II-2024 diperkirakan terhambat penurunan harga komoditas nikel.
Pada semester I-2024, emiten yang memproduksi logam mulia ini melaporkan laba bersih sebesar Rp 1,3 triliun, meningkat baik secara kuartalan maupun tahunan.
Namun hal itu tidak sejalan dengan laba bersih konsolidasi ANTM untuk semester I-2024 yang turun 18% secara tahunan menjadi Rp 1,55 triliun.
Riset JP Morgan menyebut hasil ini telah mencapai 61%-62% dari target laba bersih tahunan yang diperkirakan oleh JPMorgan dan konsensus pasar.
Baca Juga: Kinerja Aneka Tambang (ANTM) Terdampak Penurunan Harga Nikel, Cek Rekomendasi Analis
Selain itu, hasil ini juga sesuai dengan ekspektasi pasar karena adanya keuntungan valas lebih dari Rp 500 miliar pada paruh pertama 2024, serta penjualan Feronikel (FeNi) dan bijih nikel pada kuartal II 2024 kembali normal setelah kuartal pertama yang kurang baik.
Sementara untuk semester II 2024, JPMorgan memperkirakan hasil pada semester II-2024 tidak jauh berbeda dengan semester I-2024.
"Hal ini karena peningkatan volume produksi terutama nikel kemungkinan akan diimbangi oleh penurunan harga nikel karena harga nikel di pasar LME turun 9% sepanjang Juli 2024," tulis JPMorgan dalam riset (29/7).
Analis Mirae Asset Sekuritas, Rizkia Darmawan mengungkapkan, selama paruh pertama tahun 2024, harga nikel terdorong oleh serangkaian peristiwa geopolitik yang membuat harga nikel menjadi lebih tinggi dari perkiraan dan terdorong keterlambatan RKAB Indonesia. Tetapi harga kuartal dua lebih fluktuatif dan didorong oleh ketegangan geopolitik.
Baca Juga: Target Produksi Meningkat, Simak Rekomendasi Saham Aneka Tambang (ANTM) Berikut Ini
Meningkatnya perang dagang AS-Tiongkok merupakan hal yang tidak terduga. Tarif yang lebih tinggi untuk barang-barang Tiongkok dan pungutan yang lebih tinggi untuk mineral penting dapat mengganggu pasar nikel.
Gangguan ini mungkin terjadi akibat berkurangnya permintaan AS terhadap barang-barang Tiongkok, yang menyebabkan aktivitas manufaktur lebih lambat pada kendaraan listrik dan baja tahan karat, dan akibatnya, permintaan nikel yang lebih rendah.
Karena Tiongkok saat ini menyerap sebagian besar produksi nikel olahan Indonesia, situasi ini juga dapat menghambat produksi nikel Indonesia.
Dengan data ekonomi Tiongkok yang lemah baru-baru ini dan ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat pada paruh kedua tahun 2024, dikombinasikan dengan produksi yang terus tinggi dari Indonesia yang mempertahankan kondisi kelebihan pasokan.
Baca Juga: Dirut Aneka Tambang (ANTM) Optimis Tata Kelola Nikel akan Lebih Baik dengan Simbara
"LME atas nikel Rusia, dan ketegangan domestik di Kaledonia Baru, mendorong harga ke puncak US$ 21.000/ton pada minggu ketiga bulan Mei," tulis Darmawan dalam riset (12/8).