kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

RDPT kian marak dan inovatif, cermati risikonya


Selasa, 17 April 2018 / 21:40 WIB
RDPT kian marak dan inovatif, cermati risikonya
ILUSTRASI. Penerbitan Surat Berharga Perpetual PTPP Tahap I 2018


Reporter: Grace Olivia | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerbitan Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT) sebagai instrumen pendanaan alternatif sejumlah proyek infrastruktur kembali gencar. Teranyar, RDPT Ciptadana Infrastruktur Indonesia besutan PT Cipatadana Asset Management yang menjadikan surat berharga perpetual milik PT PP Tbk (PTPP) sebagai aset dasarnya.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK Hoesen, mengkonfirmasi maraknya penerbitan RDPT untuk infrastruktur ini. Ia menyebut, per Desember 2017 total dana kelolaan RDPT telah mencapai Rp 18,3 triliun.

"Jumlah ini termasuk RDPT berbasis proyek infrastruktur, di antaranya RDPT Bandara Kertajati senilai Rp 900 miliar, RDPT jalan tol senilai Rp 5,5 triliun, dan RDPT tiga ruas tol Transjawa senilai Rp 1,2 triliun," papar Hoesen, (17/4)

Adapun, RDPT dengan menggunakan perpetual bond merupakan kali pertama ada di Indonesia. RDPT hasil kerja sama PTPP dan Ciptadana ini diterbitkan senilai Rp 250 miliar untuk tahap pertama dari total nilai perpetual bond Rp 1 triliun sepanjang tahun 2018.

Ciptadana mematok kupon sebesar 8,25% nett per tahun dengan pembayaran imbal hasil setiap tiga bulan tanpa adanya waktu jatuh tempo.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menjelaskan, sejatinya produk RDPT berbasis obligasi bunga abadi ini memang baru dan cukup menarik. Namun, instrumen ini juga memiliki kerumitan dalam perhitungan risiko tersendiri bagi para calo investor.

Menurut Wawan, imbal hasil sebesar 8,25% nett yang ditawarkan memang terbilang menarik. Namun, berhubung RDPT ini tidak memiliki jatuh tempo, besaran kupon ini un akan tetap konstan. Padahal, inflasi pasti akan bergerak naik dari tahun ke tahun.

Selain itu, investor akan berhadapan dengan risiko suku bunga. Tingkat suku bunga dalam kurun 5-10 tahun ke depan pastilah sudah berubah dan berpotensi terus meningkat. "Kalau nanti inflasi dan suku bunga sampai pada tingkat yang lebih tinggi dari nilai kupon, investor justru akan mengalami opportunity loss," kata Wawan, (17/4).

Sesuai peraturan, setelah tahun ketiga sejak RDPT ini diterbitkan, perusahaan penerbit, dalam hal ini PTPP, memiliki opsi beli kembali. Jika tidak dilakukan, besaran bunga akan bertambah atau mengalami step-up rate sebesar 5%. Menurut Wawan, kalau hal ini terjadi, artinya nilai kupon akan bertambah jadi sekitar 12%-13%.

"Ini baru akan lebih menarik, mengingat rata-rata kinerja tahunan IHSG saja hanya 11% per tahun," imbuh Wawan.

Di sisi lain, investor juga harus siap dengan risiko investasi yang ada. Selain nilai investasi minimum yang terbilang jumbo yaitu Rp 5 miliar, investor juga harus menghadapi risiko bisnis perusahaan yang menerbitkan instrumen.

Artinya, investor bersandar pada kemampuan PTPP mengelola dan mempertahankan bisnisnya. Apalagi, instrumen ini bukan berdasarkan aset proyek yang sudah ada dan sudah memiliki cash flow, melainkan surat berharga yang akan digunakan untuk proyek yang baru akan dibangun (greenfield).

"Yang pasti, investor akan terus menerima pembayaran selama PTPP masih berdiri. Investor yang ingin masuk sebaiknya perhitungkan dulu risiko-risikonya karena baik SBP maupun RDPT ini terbilang cukup kompleks," kata Wawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×