Reporter: Agung Jatmiko | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sekitar 20 emiten berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih memiliki rasio keuangan yang kurang bagus. Ini antara lain terlihat dari debt to equity ratio (DER) yang tinggi.
Dari 20 emiten BUMN yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), tercatat ada delapan emiten non-keuangan dengan DER melebihi 100%. Emiten tersebut yakni INAF, KAEF, KRAS, ADHI, PTPP, WIKA, WSKT dan GIAA. Tingkat DER GIAA bahkan mencapai 354,37%.
Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra menyebut, posisi GIAA sulit lantaran utang emiten di kuartal satu lalu bertambah banyak. Aditya menilai DER GIAA sudah mengkhawatirkan. Hal ini membuat posisi GIAA di masa depan kurang aman, terutama jika perusahaan ini hendak mengajukan utang baru.
Selain itu, GIAA juga memiliki masalah di internal. Di sisi lain, kinerja keuangan maskapai nasional ini masih tak kunjung membaik. Dari laporan keuangan terlihat pendapatan tidak bagus, yang jika disetahunkan lebih rendah dibanding kuartal satu 2017 lalu, ujar Aditya.
Terkait emiten pelat merah yang bergerak di bidang konstruksi, seperti WSKT, ADHI, PTPP dan WIKA, Aditya punya pendapat beda. Ia menilai DER emiten karya tinggi sebagai hal yang wajar.
Sebab, perusahaan konstruksi harus meminjam uang untuk memulai proyek. WSKT misalnya. Sebagai emiten konstruksi dengan kapitalisasi pasar terbesar, tingkat DER mencapai 353,93%.
Aditya memandang utang emiten konstruksi yang besar tidak mengkhawatirkan. "Yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana perusahaan mampu menjaga arus kasnya," tegas Aditya.
Cermati WSKT
Jika investor ingin mencermati saham emiten BUMN, Aditya melihat ada dua emiten yang menarik, yakni KRAS dan WSKT.
Memang, KRAS memiliki DER tinggi, yakni 125,06%. Namun perusahaan ini sudah menunjukkan progress yang baik, ditunjukkan dengan rugi periode berjalan kuartal satu 2018 yang jauh berkurang menjadi US$ 5,3 juta dibandingkan kuartal I-2017 yang sebesar US$ 22,23 juta.
Selain itu, KRAS tidak memiliki lonjakan utang, meski besaran DER mencapai 125,06%. "Bisa dicermati kinerja perusahaan di kuartal II-2018, serta apakah jumlah utang semakin rendah atau tidak," ujar Aditya.
Untuk WSKT, meski memiliki rasio keuangan yang kurang bagus, namun dari segi kinerja, WSKT masih membukukan laba bersih. "Investor bisa mencermati sejauh mana WSKT bisa mengurangi beban. Serta seberapa bagus kinerjanya di kuartal II-2018 nanti," kata Aditya.
Untuk KRAS, Aditya menyarankan supaya investor wait and see terlebih dahulu sambil mencermati perkembangan. Sementara, untuk WSKT investor bisa masuk. Namun Aditya menyarankan untuk tidak membeli terlalu banyak.
Analis Alfa Sekuritas Indonesia Juan Harahap juga menyebut investor bisa mencermati saham WSKT. Pasalnya, WSKT mendapat pembayaran dari beberapa proyek serta memperoleh proyek pembangunan bandara Ahmad Yani sebesar Rp 8 triliun.
Untuk investor, jika ingin membeli saham WSKT, Juan menyarankan untuk menunggu harga sahamnya sedikit turun, paling tidak ke level Rp 2.300 per saham.
Sementara, untuk KRAS meski kinerjanya lebih baik, namun investor tetap harus menunggu perkembangan kinerja di kuartal II-2018.
Soal, GIAA Aditya dan Juan sepakat saham ini kurang menarik. Alasannya, hingga saat ini belum ada katalis positif yang bisa digunakan investor untuk masuk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News