Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan 50 saham yang berpotensi mengalami pembatalan pencatatan (delisting). Secara umum, saham-saham di daftar potensi delisting ini telah mengalami suspensi selama 10 bulan hingga 65 bulan.
Dalam daftar yang diteken pada 28 Juni 2024 tersebut, muncul beberapa nama emiten seperti PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL), PT Hanson International Tbk (MYRX), PT HK Metals Utama Tbk (HKMU) hingga PT Sky Energy Indonesia Tbk (JSKY).
Di antara 50 saham potensi delisting itu, ada deretan saham yang sejatinya masih terbilang anyar. Saham tersebut belum genap lima tahun listing atau menggelar Initial Public Offering (IPO). Contohnya PT Indosterling Technomedia Tbk (TECH) yang baru melantai BEI pada 4 Juni 2020.
Baca Juga: Lunasi Utang Ke JCC, META Siap Delisting Saham
Kemudian ada PT Cahaya Bintang Medan Tbk (CBMF) yang baru listing pada 9 April 2020. Selain itu, terdapat saham yang baru menggelar IPO pada tahun 2019 seperti PT Trinitan Metals and Minerals Tbk (PURE), PT Capri Nusa Satu Properti Tbk (CPRI), dan PT Bhakti Agung Propertindo Tbk (BAPI).
Hal ini pun kembali memincu sorotan terhadap otoritas pasar modal terkait penyaringan calon emiten yang menggelar IPO. Founder & CEO Finvesol Consulting Fendi Susiyanto menyoroti kondisi ini layak menjadi alarm bagi otoritas bursa untuk lebih ketat menyeleksi emiten-emiten baru.
Tak hanya mengejar target kuantitas emiten anyar, BEI juga mesti lebih selektif menyaring kriteria yang layak go public.
Bersamaan dengan faktor fundamental perusahaan, otoritas pasar modal perlu mencermati operasional dan prospek bisnis, serta sejauh mana perusahaan ini bisa bertahan dalam dinamika makro-ekonomi.
Kemudian, penting untuk menilik integritas dan kredibilitas dari manajemen. Supaya menghindarkan IPO hanya sebagai exit strategy usai meraup dana dari publik.
"Screening process yang ketat di awal akan lebih bagus, setidaknya bisa meminimalisasi calon emiten bermasalah. Khawatirnya ada IPO hanya untuk hit and run atau secara perusahaan tidak memadai," kata Fendi kepada Kontan.co.id, Senin (1/7).
Baca Juga: Delisting dan Relisting Diatur Lebih Ketat
Fendi memberi catatan, penyaringan calon emiten berhubungan erat dengan kredibilitas bursa, sekaligus akan berpengaruh terhadap keyakinan dan kenyamanan investor dalam berinvestasi di pasar saham.
Begitu pula di sisi yang lain, dengan banyaknya emiten yang berpotensi delisting.
Menurut Fendi, hal ini perlu menjadi perhatian pelaku pasar, agar tidak terjebak ke dalam saham-saham tidur atau saham bermasalah.
Fendi mengingatkan, delisiting karena suspensi yang berbulan-bulan bahkan menahun, berbeda dari delisting yang terjadi secara sukarela (voluntary delisting).
Voluntary delisting merupakan langkah dari perusahaan untuk melakukan go private. Ini merupakan aksi korporasi dimana perusahaan cenderung masih punya fundamental keuangan dan prospek kinerja yang apik, sehingga bisa memenuhi kewajiban kepada investor berupa pembelian kembali saham (buyback).
Tapi untuk delisting akibat perusahaan yang mati suri atau terkena suspensi dalam jangka waktu lama, investor hanya akan "mengelus dada".
Baca Juga: Empat Saham MNC Group Kompak Masuk Pemantauan Khusus, Begini Gambaran Bisnisnya
Sebab, umumnya perusahaan jenis ini tak lagi punya kemampuan untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. "Si pemilik mungin juga tidak punya motif melakukan buyback," kata Fendi.
Dus, otoritas pasar modal juga perlu selektif dan tegas mendelisting emiten-emiten yang sudah tidak punya kemampuan untuk pulih kembali.
Sedangkan bagi yang masih punya komitmen memperbaiki kinerja, perlu menilik kembali bagaimana prospeknya untuk bisa bertahan memulihkan fundamental atau menyelesaikan perkara yang membelenggunya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News