Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun ini menjadi tahun yang gemilang bagi komoditas batubara. Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Juan Harahap mengatakan, per 11 Agustus 2021, harga rata-rata batubara telah melonjak 79,4% secara year-on-year (YoY) menjadi US$ 107,3 per ton.
Kenaikan harga komoditas energi ini terutama didorong oleh permintaan yang solid di China seiring pemulihan industri di tengah masalah keamanan tambang di Negara tersebut. Penguatan ini juga terjadi di tengah curah hujan yang tinggi di Indonesia.
Harga yang solid pun diproyeksi akan berlanjut di semester ini. Salah satu pendorongnya adalah permintaan batubara termal China yang masih akan meningkat, didukung oleh konsumsi listrik yang lebih tinggi. Tingginya konsumsi seiring cuaca dingin dan kering yang terjadi di semester II-2021.
Juan mencatat bahwa output listrik China dari pembangkit listrik termal rata-rata berkontribusi 70,6% dari total output listrik dalam lima tahun terakhir. Di sisi lain, India sebagai salah satu konsumen terbesar berpotensi perlu mengimpor lebih banyak batubara termal untuk jangka panjang.
Baca Juga: Berkinerja apik pada semester I, berikut rekomendasi saham Barito Pacific (BRPT)
Juan menilai, naiknya impor batubara India karena produksi di India diperkirakan tidak akan naik (berkembang) seiring dengan isu lingkungan. Hal ini membuat investor tidak tertarik untuk menawar tambang batubara di India. Di sisi lain, menurut Bloomberg, permintaan batubara dari Negara dengan penduduk terbesar kedua tersebut berpotensi naik 6% YoY di tahun ini akibat adanya pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, pengembangan energi terbarukan dapat menjadi sentimen pemberat dalam jangka panjang. Tetapi, dalam jangka menengah permintaan batubara masih akan solid. Tren berkembangnya energi terbarukan sejalan dengan implementasi Perjanjian Paris.
China memang memiliki misi ambisius untuk memotong emisi karbonnya. Namun, negeri Panda tersebut tidak akan meninggalkan batubara dalam waktu dekat seiring tuntutan untuk memenuhi kebutuhan energi yang besar.
Sementara dari dalam negeri, terdapat potensi meningkatnya pasokan, tetapi hal ini masih dapat diatasi. Pada April 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengumumkan bahwa Indonesia menaikkan target produksi batubara dari sebelumnya 550 juta ton menjadi 625 juta ton. Semua output tambahan akan dialokasikan untuk ekspor.
Baca Juga: Berkinerja apik pada semester I, ini rekomendasi saham Lonsum (LSIP)
Hemat Juan, tingkat produksi akan terus berlanjut di semester ini karena banyak produsen batubara telah menyerahkan rencana penambangan baru mereka kepada pemerintah. Tambah lagi, produksi batubara Indonesia selalu melebihi target produksinya. Gap terbesar terjadi pada tahun 2019, yaitu mencapai 116% dari target produksi yang dipasang.
Dengan menimbang faktor tersebut, Mirae Asset Sekuritas menginisiasi rating overweight pada sektor batubara. Meskipun terdapat potensi penurunan permintaan batubara dalam jangka panjang karena berkembangnya energi terbarukan, pasar batubara Indonesia masih cukup potensial terutama terkait permintaan dari India dan China.
Di sektor ini, Mirae Asset Sekuritas menjadikan saham PT Indo Tambangraya Tbk (ITMG) sebagai pilihan utama (top picks). ITMG dinilai sangat terkonsentrasi di bisnis batubara termalnya.
Selain itu, ITMG memiliki porsi ekspor terbesar diantara emiten yang menjadi peers di sektor ini, yang akan berdampak positif bagi kinerjanya. ITMG juga memiliki imbal hasil (yield) dividen yang tinggi. Untuk ITMG, Juan merekomendasikan beli dengan target harga Rp 22.800.
Selain ITMG, Juan juga merekomendasikan beli saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan target harga Rp 2.900 dan beli saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dengan target harga Rp1.600. “Risiko dari rekomendasi kami ialah harga batubara global yang lebih rendah dan adanya perubahan regulasi,” terang Juan dalam riset yang dipublikasikan Selasa (24/8).
Juan melihat, diversifikasi akan bermanfaat bagi emiten dalam jangka panjang. Hal ini didasarkan pada tren peningkatan energi terbarukan yang dapat mengganggu porsi penggunaan batubara dalam jangka panjang.
ADRO memiliki tambang batubara kokas dan juga bisnis pembangkit listrik yang saat ini masih mencatat kerugian sebesar US$ 1,7 juta. Tetapi kerugian ini membaik dibandingkan dengan angka kerugian tahun 2020 yang mencapai US$ 9 juta.
Di sisi lain, PTBA juga memiliki pembangkit listrik yang menyumbang 12,6% dari laba usaha. Ke depan, emiten pelat merah ini akan memacu diversifikasi melalui bisnis hilir pada proyek gasifikasi yang direncanakan beroperasi pada akhir 2023.
Selanjutnya: Intip rekomendasi saham Bank BNI dari Panin Sekuritas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News