Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga komoditas timah mulai merangkak naik setelah menyentuh level terendah pada Maret lalu. Tapi, prospek PT Timah Tbk (TINS) belum tentu membaik.
Merujuk Bloomberg, harga timah di London Metals Exchange (LME) berada di level US$ 17.120 per ton atau naik 1,19% dibanding penutupan Jumat (12/6). Level tersebut juga sudah mendekati level timah di awal tahun yakni US$ 17.175 per ton. Padahal pada Maret, harga timah sempat menyentuh level terendahnya di US$ 13.250 per ton.
Harga timah naik karena adanya penurunan stok di London Metal Exhange (LME). Kenaikan harga timah ini terjadi karena penurunan stok hingga 105% menjadi 3.800 ton dari 7.100 ton di awal tahun.
“Saat itu, tambang timah dan smelter milik Taboca di Brazil menghentikan sementara operasi karena penyebaran virus corona pada periode Maret. Namun, kami belum melihat ada tanda-tanda pemulihan harga timah yang signifikan,” kata analis Ciptadana Sekuritas Thomas Radityo dalam riset pada 20 April.
Baca Juga: Indeks BUMN20 Naik Melampaui IHSG, Ini Saham BUMN yang Menarik Dikoleksi
Lebih lanjut, Thomas menilai kinerja TINS masih akan tertahan selama pandemi virus corona ini. Pandemi virus corona telah menurunkan permintaan terhadap timah. Dengan kondisi tersebut, kinerja TINS dinilai berpotensi akan tertekan selama periode tersebut berlangsung.
Sementara analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji menilai kinerja dan prospek TINS ke depan bergantung terhadap permintaan dan harga timah itu. Dengan membaiknya harga timah belakangan ini, Nafan menilai ini setidaknya bisa menjadi angin segar bagi TINS ke depan.
“Namun yang perlu diwaspadai adalah jika permintaan terhadap timah itu tetap rendah. Namun kebijakan TINS untuk menerapkan dan meningkatkan efisiensi bisnis, bisa membantu meredamnya,” ujar Nafan kepada Kontan.co.id, Senin (15/6).
Baca Juga: Pefindo Pangkas Peringkat Utang Timah (TINS) Gara-gara Dampak Corona
Berdasarkan catatan Kontan.co.id, TINS telah secara bertahap melakukan deleveraging dengan mengurangi posisi utang berbunga di samping reprofiling utang bank baik dari jenis mata uang hingga jadwal pelunasan. Hal ini dilakukan sebagai usaha TINS mengurangi beban bunga sebagai upaya mengoptimalkan arus kas perusahaan.
Dengan harga timah yang mulai membaik, Nafan menyebut saat ini timah tengah menunjukkan adanya fase bullish consolidation sehingga diproyeksikan bisa menyentuh US$ 21.505 per ton. Sementara Thomas menyebut dengan harga timah cenderung masih akan volatile hingga akhir tahun nanti.
“Kami menurunkan proyeksi harga timah sebesar 9,8% pada tahun ini menjadi US$ 18.500 per ton. Dengan turunnya acuan harga timah, kami juga menurunkan harga jual rata-rata alias average selling price (ASP) timah menjadi US$ 19.425 per ton,” jelas Thomas.
Baca Juga: Meski kinerja 2019 tertekan, Timah (TINS) catat kenaikan kontribusi PNBP dan royalti
Dengan turunnya ASP, Thomas pun merevisi pendapatan TINS akan turun 9,6% dan menurunkan cash cost sebesar 3,3% karena cash cost sebelumnya dinilai terlalu agresif. Dus Thomas memproyeksikan pendapatan TINS akan sebesar Rp 18,47 triliun dengan laba bersihnya merugi Rp 987 miliar.
Sebagai pembanding, tahun lalu TINS meraup pendapatan Rp 19,30 triliun, naik 75,13% secara tahunan. Tapi, TINS harus menanggung rugi bersih Rp 611,28 miliar dari tahun 2018 yang masih laba Rp 132,29 miliar.
Kinerja TINS tahun lalu tertekan harga jual rata-rata yang turun 8,1% secara tahunan. Tingginya beban bunga turut menekan laba emiten BUMN ini.
Baca Juga: Indeks BUMN20 melejit 8,43% selama Juni 2020, saham apa saja yang jadi pendorongnya?
Oleh karena itu, Thomas merekomendasikan untuk jual saham TINS dengan target harga Rp 420 per saham. Sementara analis Danareksa Sekuritas Stefanus Darmagiri dan Nafan sama-sama merekomendasikan beli dengan target harga masing-masing Rp 700 dan Rp 970 per saham.
Harga saham TINS melemah 4,24% ke Rp 565 pada perdagangan Senin (15/6).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News