Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Johana K.
JAKARTA. PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) memotong anggaran belanja modal tahun ini menjadi Rp 1,5 triliun atau 50% lebih rendah dibanding tahun lalu Rp 3 triliun. CPIN memutuskan untuk mengerem ekspansi tahun ini.
Analis UBS, Raja Abdalla yakin keputusan CPIN untuk memperlambat ekspansi disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya upaya investasi tidak bisa lagi memberi return yang lebih tinggi, kebutuhan untuk menghemat free cash flow (FCF) dan mempertahankan leverage, serta adanya tekanan dari pemerintah untuk menjaga keseimbangan supply-demand di sektor poultry.
Menurut Raja, ekspansi perusahaan sektor puoltry tidak lagi bisa menghasilkan keuntungan. Hal ini terlihat dari Return on Invested Capital (ROIC) CPIN yang turun menjadi 18% di tahun 2014 dari 73% pada tahun 2010. Raja berfikir, CPIN berusaha menghemat FCF untuk mempertahankan leverage. "Analisis kami menunjukkan leverage CPIN akan setinggi 0,7x dari utang terhadap ekuitas jika terus memaksakan ekspansi agresif," ungkapnya dalam riset pekan lalu.
Selain itu, ekspansi yang cukup agresif pada segmen anak ayam usia sehari (DOC) telah menyebabkan kelebihan pasokan ayam broiler. Akibatnya peternak DOC nasional sepakat untuk memotong produksi sekitar 22%. Raja memotong perkiraan pendapatan CPIN sebesar 9% tahun ini dan 8% masing-masing untuk tahun 2016 dan 2017. Meski demikian, Raja menyukai peningkatan return CPIN dengan perkiraan peningkatan ROIC sebesar 550 basis poin sepanjang tahun 2015 - 2017. Hal ini merupakan hasil dari pulihnya harga DOC dan broiler setelah adanya pengaturan pasokan. "Namun, belanja modal yang lebih rendah membuat keuntungan tidak terlalu besar," lanjutnya.
Oleh karena itu, Raja berharap permintaan unggas akan cenderung meningkat dengan rata-rata 15% per tahun selama dua tahun ke depan. Peningkatan tersebut didukung oleh pulihnya daya beli akibat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan inflasi terkendali.
Mulai tahun ini CPIN juga memperluas bisnis ke segmen barang konsumsi. Hal tersebut dilakukan dengan masuk ke bisnis minuman melalui merek Fiesta White Tea. Perusahaan mengalokasikan anggaran belanja modal (capex) Rp 400 miliar guna mengembangkan pabrik minuman. Pabrik tersebut diharapkan mulai beroperasi tahun depan dan menghasilkan kapasitas 40.000 botol per jam.
Raja menilai negatif diversifikasi ini mengingat profitabilitas yang rendah. Bisnis ini juga kurang memiliki sinergi dengan bisnis perseroan lainnya. Terlepas dari itu, bisnis minuman belum menjadi fokus perhatian. Disamping porsi masih kecil yakni sekitar 2% dari aset, perhatian utama saat ini ada pada kelebhan pasokan DOC. Raja masih mempertahankan rekomendasi buy saham CPIN dengan target harga Rp 3.550 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News