kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.901.000   -7.000   -0,37%
  • USD/IDR 16.255   69,00   0,43%
  • IDX 6.901   35,74   0,52%
  • KOMPAS100 1.004   4,88   0,49%
  • LQ45 768   3,99   0,52%
  • ISSI 227   1,02   0,45%
  • IDX30 396   2,65   0,67%
  • IDXHIDIV20 457   1,32   0,29%
  • IDX80 113   0,52   0,46%
  • IDXV30 114   -0,13   -0,12%
  • IDXQ30 128   0,82   0,64%

PMI Manufaktur Lesu Jadi Sinyal Negatif Emiten untuk Jangka Pendek


Senin, 07 Juli 2025 / 20:35 WIB
PMI Manufaktur Lesu Jadi Sinyal Negatif Emiten untuk Jangka Pendek
ILUSTRASI. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis) PMI Manufaktur Indonesia masih berada di bawah ambang batas netral 50,0, menunjukkan sektor manufaktur masih berada dalam fase kontraksi.


Reporter: Rashif Usman | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aktivitas sektor manufaktur Indonesia masih mengalami tekanan pada Juni 2025. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh S&P Global tercatat sebesar 46,9 pada Juni 2025, turun dari 47,4 pada Mei 2025.

PMI Manufaktur Indonesia masih berada di bawah ambang batas netral 50,0, menunjukkan sektor manufaktur masih berada dalam fase kontraksi.

Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi menjelaskan bahwa pelemahan PMI mencerminkan daya beli masyarakat yang cenderung lemah. Hal ini memberikan tekanan terutama pada emiten di sektor manufaktur dan konsumsi. 

Ia mencontohkan, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) bahkan telah merevisi turun target penjualan otomotif tahun ini. Namun di sisi lain, market share Astra International (ASII) masih cukup solid, apalagi perusahaan memiliki diversifikasi usaha di luar otomotif. Sementara itu, emiten konsumer yang berfokus pada kebutuhan primer dinilai lebih kuat terhadap penurunan PMI Manufaktur.

Baca Juga: Pasar Tunggu Hasil Negosiasi Tarif Trump, Cek Arah IHSG & Rekomendasi Saham Pekan Ini

"Level PMI Manufaktur yang terkontraksi berpotensi mempengaruhi kinerja emiten dalam jangka pendek karena sifat PMI yang dinamis. Jadi untuk jangka panjang investor perlu melihat tren PMI ke depannya," kata Wafi kepada Kontan, Senin (7/7).

Wafi juga menekankan bahwa investor tidak perlu panik melihat sentimen ini. Sebab, PMI merupakan indikator awal (leading signal). Oleh karenanya, ia menekankan kepada investor juga melihat indikator ekonomi lainnya seperti indeks penjualan ritel, inflasi, suku bunga, serta fundamental masing-masing emiten.

Equity Research Analyst OCBC Sekuritas, Jessica Leonardy mengungkapkan emiten yang termasuk sektor manufaktur di Indonesia diperkirakan masih menghadapi tekanan dalam jangka pendek, terutama jika konsumsi domestik belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. 

Namun, dengan adanya berbagai stimulus fiskal pemerintah pada semester II-2025, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), peningkatan hilirisasi industri melalui Danantara, dan berbagai stimulus pemerintah diharapkan bisa memperbaiki siklus pasar. 

"Secara keseluruhan, tantangan jangka pendek masih ada, namun permintaan domestik diperkirakan dapat menjadi penopang penting bagi aktivitas manufaktur dan membentuk fondasi untuk potensi pemulihan menjelang akhir 2025, seiring peningkatan belanja pemerintah," ucap Jessica kepada Kontan, Senin (7/7).

Jessica juga merinci prospek emiten manufaktur untuk tahun 2025. Misalnya, prospek ASII yang dinilai masih memiliki potensi pertumbuhan kuat. Hal ini ditopang oleh posisi ASII sebagai pemimpin pasar di segmen kendaraan roda empat (4W) dan roda dua (2W), didukung oleh daya saing produk yang tinggi, jaringan distribusi yang luas, serta diversifikasi bisnis ke sektor pertambangan emas, mineral, dan energi terbarukan.

Pada kuartal I-2025, ASII memang mencatatkan penurunan penjualan di lini otomotif seiring melemahnya permintaan konsumen dan tekanan ekonomi. Namun, ada harapan pemulihan seiring dengan potensi pelonggaran kebijakan moneter serta gelaran pameran otomotif GIIAS 2025 yang diperkirakan dapat menjadi katalis positif bagi penjualan.

Kemudian, outlook terhadap emiten manufaktur lainnya seperti KLBF tetap positif, didukung oleh posisi kas bersih yang solid serta prospek pertumbuhan melalui inovasi di segmen alat kesehatan dan obat biologis. Manajemen KLBF pun masih menargetkan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih di kisaran high single digit, yakni sekitar 8–10%. Pertumbuhan ini ditopang oleh strategi penetapan harga (pricing strategy), stabilnya harga bahan baku, serta ekspansi bisnis ke pasar internasional.

Jessica juga memperkirakan segmen Consumer Brand Products (CBP) dan agribusiness akan tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan INDF tahun ini, didukung prospek harga CPO yang masih menarik dan ekspektasinya akan relatif stabil seiring dengan produksi yang diperkirakan naik karena cuaca yang mendukung dan replanting. 

Rekomendasi Saham

Jessica menyarankan pelaku pasar untuk buy saham ASII, KLBF, INDF di target harga masing-masing Rp 5.800, Rp 1.650 dan Rp 8.700 per saham. Adapun ia merekomendasikan untuk hold saham UNVR di target harga Rp 1.560 per saham.

Wafi merekomendasikan untuk mencermati saham ASII, KLBF, INDF dan UNVR di target harga masing-masing Rp 5.500, Rp 1.700, Rp 8.200 dan Rp 1.800 per saham.

Baca Juga: Emiten Pionir Bisnis Kebab Baba Rafi (RAFI), Digugat PKPU oleh Perusahaan Pinjol

Astra Fokus Perkuat Sinergi Antar Lini Bisnis

PT Astra International Tbk (ASII) pun turut menanggapi lesunya industri manufaktur di Tanah Air.

Chief of Corporate Affairs Astra International (ASII) Boy Kelana Soebroto bilang bahwa pihaknya mencermati perkembangan berbagai indikator ekonomi termasuk pelemahan PMI manufaktur secara seksama. Meskipun data PMI mencerminkan adanya tekanan di sektor industri, ASII tetap optimistis terhadap prospek jangka panjang perekonomian Indonesia.

"Ke depan, kami akan terus fokus memperkuat sinergi antar lini bisnis yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan," kata Boy kepada Kontan, Senin (7/7).

Boy mengungkapkan Astra tetap terbuka terhadap berbagai peluang ekspansi yang ada. Strategi perusahaan akan berfokus pada tiga pilar utama, yakni memperkuat bisnis inti, mengembangkan sektor yang berkaitan (adjacency), dan menjajaki potensi bisnis di sektor baru.

"Realisasi ekspansi akan mempertimbangkan banyak faktor termasuk peluang yang ada, sambil tetap menjaga prinsip kehati-hatian dan menciptakan nilai jangka panjang,"  tambah Boy.

Boy juga menyampaikan belanja modal ASII konsolidasi grup Astra tahun ini berkisar Rp 25 triliun. Sayangnya, untuk serapan capex hingga semester I-2025, ASII belum bisa mengungkapkan besarannya.

Yang jelas, belanja modal ASII ditujukan ke sektor-sektor bisnis inti Astra yakni otomotif dan mobilitas, jasa keuangan, alat berat, pertambangan, konstruksi & energi, agribisnis, infrastruktur, teknologi informasi dan properti.

Baca Juga: Beda Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2026 Kemenkeu, Bappenas & BI, Mana yang Realistis?

Selanjutnya: Mata Uang Rand Afrika Selatan Melemah Setelah Trump Ancam Tarif 10% Negara BRICS

Menarik Dibaca: KAI Layani 3,49 Juta Pelanggan Selama Libur Sekolah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×