kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.220   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Pilih-pilih saham murah berprospek cerah


Kamis, 20 September 2012 / 12:29 WIB
Pilih-pilih saham murah berprospek cerah
ILUSTRASI. Kinerja Indosat moncer di semester I-2021


Reporter: Anastasia Lilin Y, Dessy Rosalina | Editor: Imanuel Alexander

Rasio P/E dan PBV kerap dijadikan acuan untuk melihat mahal atau murah harga saham. Namun murah saja tidak cukup. Investor mesti melihat valuasi fundamental. Dari sini, prospek emiten bisa terbaca. Bagaimana saran para analis?

Seleksi dulu sebelum membeli. Saran ini juga berlaku bagi investor yang hendak membeli saham. Salah satu indikator yang kerap dijadikan pertimbangan adalah price to earning (P/E). Ini adalah rasio harga saham terhadap laba bersih per saham. Sebuah saham dikatakan murah jika rasio P/E lebih kecil dibanding P/E sektoralnya.

Analis Bahana Securities Salman Fajari Alamsyah berpendapat, jika ingin membandingkan dari sisi P/E sebaiknya memilih sektoral yang paling dekat dengan emiten tersebut. Tujuannya, agar mendapatkan perbandingan yang setara.

Salman mencontohkan sebaiknya PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tidak diperbandingkan dengan PT Bank Bukopin Tbk (BBKP), melainkan dikomparasikan dengan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). “Dibandingkan dengan saham-saham lain yang dari sisi aset dan perkembangan bisnisnya kurang lebih sama,” saran Salman.

Analis AM Capital Janson Nasrial bilang, selain P/E, rasio price to book value (PBV) juga menjadi indikator untuk menilai murah mahalnya suatu saham. Menurut dia, umumnya suatu saham tergolong murah jika memiliki PBV di bawah 2,5 kali. Penggunaan PBV lebih tepat jika digunakan untuk menilai saham perbankan.

Acuan lain yang disarankan Jansonm yakni price to earning growth (PEG). Ini adalah rasio yang mencerminkan P/E berbanding dengan ekspektasi pertumbuhan pendapatan. Saham yang bagus adalah saham dengan PEG di bawah 1. Rasio PEG cocok digunakan pada saham konsumsi.

Misal, PT Unilever Tbk (UNVR), yang menurut Janson, punya P/E 33 kali di 2013 dan earning growth mencapai 40 kali. Itu artinya PEG UNVR 0,85 atau masih di bawah 1. Earning growth bisa didapat dengan melihat pertumbuhan pendapatan historis di tahun-tahun sebelumnya.

Murah belum tentu layak koleksi Namun, memiliki rasio P/E, PBV, atau PEG yang mini saja tidak cukup. Analis Andalan Artha Advisindo (AAA) Sekuritas Andy Wibowo Gunawan bilang, mestinya investor juga mencermati kondisi fundamental perusahaan.

Alasan dia, tidak semua saham murah layak dikoleksi. Terutama, untuk investor yang berharap menempatkan dana untuk jangka panjang. “Kalau kinerjanya rugi, pasti harga sahamnya turun terus,” ujar Andy.

Selain itu, Andy juga menyarankan untuk melihat potensi kenaikan harga (potential upside). Dengan kondisi fundamental bagus dan P/E rendah, dia baru merekomendasikan beli jika harga saham setidaknya masih lebih murah 10% dari harga wajar. Jika potensi keuntungan yang bisa digenggam investor tidak mencapai sebesar itu, saham tersebut dikategorikan tidak murah. Apalagi, jika harga saham telah melampaui harga wajar. Berarti, saham tersebut telah mahal.

Harga wajar ini mencerminkan kemampuan dan prospek fundamental dari emiten tersebut. Anda bisa mencari tahu harga wajar sebuah saham dari riset yang dikeluarkan para analis. Janson menandaskan, tingkat utang pun mesti menjadi sorotan. Sebab, seringkali P/E emiten menjadi kecil lantaran terpengaruh tingkat utang alias net gearing ratio tinggi. “Kalau utang sangat tinggi, harga saham tidak akan naik dan P/E menjadi kecil,” ujar dia. Net gearing ratio adalah tingkat utang yang sudah dikurangi kas berbanding modal.

Ulasan sejumlah saham Membantu Anda mencari saham murah dengan P/E rendah, KONTAN mengumpulkan 10 saham dengan P/E termurah dari masing-masing sektor yang disajikan Bloomberg. Dari 90 saham yang ada, lantas dipilih saham yang masuk LQ45. Dengan asumsi, jika masuk LQ45 setidaknya menjadi jaminan bahwa saham tersebut cukup likuid diperdagangkan. Hasilnya, ada 12 saham. Tapi, hanya sebagian saham saja yang diulas.

ADRO

Di sektor pertambangan, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) menjadi saham yang tergolong murah. Analis Sucorinvest Sekuritas Gifar Indra Sakti memproyeksikan, P/E ADRO 9,1 kali di akhir 2012. Tidak cuma terbilang murah, Gifar menyatakan, saham Adaro layak beli. Sebab, ada beberapa faktor yang mendukung kinerja fundamental pada tahun-tahun mendatang.

Pertama, tahun ini, Adaro resmi menjajakan produk batubara baru, yakni E4500. Sebelumnya Adaro menjual batubara dengan kalori E5000 dan E4000. Lewat produk tersebut, Adaro membidik pasar baru di kawasan Indonesia dan Korea. “Secara historis, penjualan Adaro bisa tetap tumbuh meski harga batubara sedang merosot,” ujar dia. Kedua, pembangunan Out of Pit Crushing and Conveying System (OPCC). Ini adalah proyek senilai US$ 212 juta yang menghemat penggunaan minyak pada proses pengangkutan dan penggalian batubara.

Hitungan Gifar, sistem OPCC mampu menghemat ongkos transportasi dan penggalian sekitar US$ 1 - US$ 2 per ton batubara. Proyek ini sudah berjalan 68% dan ditargetkan rampung awal 2013. Ketiga, ekspansi Adaro kewilayah Sumatera Selatan.

Ekspansidiawali dengan mengakuisisi 75% saham PT Mustika Indah Permai, perusahaan pertambangan batubara yang mempunyai proyek greenfi eld seluas 2.000 ha di Sumatera Selatan. Biaya akuisisi menelan US$ 222,5 juta.

Manajemen Adaro bilang bakal memulai produksi batubara di Mustika mulai akhir tahun 2012 mendatang. Target produksi Mustika sebanyak tiga 3 juta - 4 juta ton per tahun. Adaro juga mendekap 35% saham PT Servo Meda Sejahtera di kawasan Sumatera Selatan.

Akhir Juni kemarin, Adaro telah melakukan uji coba produksi di Servo. Rencananya, September ini produksi akan mulai dikomersialkan. Gifar menyebut, ketiga faktor tersebut menjadi jaminan bagi kelangsungan kinerja Adaro di tahun-tahun mendatang. “Tapi tren harga batubara 2013 yang masih turun akan menjadi tantangan bagi Adaro,” ujarnya.

Gifar merekomendasikan beli saham ADRO dengan target harga Rp 1.810 per saham. Pendapatan Adaro akhir 2012 ia proyeksikan US$ 4,06 miliar atau naik 1,02% dibanding 2011. Tapi, laba bersih ia prediksi turun tipis jadi US$ 502 juta dari pencapaian 2011 sebesar US$ 550 juta.

INDY

Meski harga komoditas sedang tiarap, analis PT Trimegah Securities Frederick Daniel Tanggela tetap memberi predikat menarik bagi PT Indika Energy Tbk (INDY). Selain pertimbangan harga saham yang murah, fundamental Indika juga ia nilai masih menjanjikan.

Indika tercatat mengendalikan sejumlah anak perusahaan yang strategis. Sebut saja PT Petrosea Tbk (PTRO) yang bergerak di jasa kontraktor pertambangan batubara, PT Tripatra Tbk yang bergerak di bidang usaha infrastruktur energi, dan PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk (MBSS).

Indika juga memiliki 46% saham PT Kideco Jaya Agung. Ini adalah perusahaan tambang batubara yang pada semester pertama lalu menjual 17,4 juta ton batubara atau naik 11% year on year (yoy). Selain itu, melalui PTRO, Indika memiliki 50% saham PT Santan Batubara.

Prospek cerah Indika juga terbaca dari akuisisi PT Mulia Tambang Jaya Utama. Mulia Tambang memiliki cadangan batubara thermal (untuk pembangkit) 31,2 juta ton dan batubara coking 9,4 juta ton. Akuisisi 60% saham PT Mitra Energy Agung juga menguntungkan karena perusahaan ini memiliki cadangan batubara thermal berkalori rendah sebanyak 40 juta ton.

Frederick memprediksi, laba bersih Indika di tahun 2012 tumbuh 18,5% atau menjadi Rp 1,31 triliun. Sementara, pada 2013, laba bersih ia perkirakan akan turun 10% menjadi Rp 1,18 triliun. Alasannya adalah harga jual rata-rata Kideco dan Santan Batubara.

Dengan laba bersih per saham (EPS) 2013 sebesar Rp 246 dan asumsi P/E 2013 sebesar 9 kali, Frederick menargetkan harga INDY 12 bulan ke depan sebesar Rp 2.200 per saham. Adapun, dengan asumsi P/E industri tambang 11 kali, ia merekomendasi beli.

KIJA

Salman Fajari menilai PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) memiliki valuasi yang patut dilirik. Dia menghitung P/E untuk properti khusus kawasan industri tahun 2013 sebesar 7-8 kali sedangkan P/E Jababeka baru 6,5 kali. Bandingkan dengan rivalnya, seperti PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk (BEST), yang P/E-nya telah mencapai 8,7 kali. Namun, hitungan P/E tersebut dengan catatan proyek pembangkit listrik bernama Bekasi Power terealisasi. Pengoperasian proyek bertenaga 130 Mega Watt tersebut memang sempat mundur berulangkali.

Kabar terakhir, pembangkit listrik ini bakal beroperasi Oktober depan. “Pembangkit listrik diproyeksikan akan berkontribusi 15%-20%,” kata Salman. Salman menambahkan, operasional pembangkit listrik yang notabene akan melayani PT PLN itu bakal menjadi sumber dana yang tepat untuk membayar utang obligasi global senilai US$ 300 juta.

Alasan Salman, pembayaran PLN dalam bentuk dollar AS bisa dimanfaatkan untuk membayar utang yang diluncurkan Juli lalu tersebut. Salman memprediksi, pendapatan dan laba bersih Jababeka 2012 masing-masing Rp 1,9 triliun dan Rp 446 miliar. Sementara, pendapatan dan laba bersih 2013 ia prediksi Rp 2,4 triliun dan Rp 570 miliar. Salman merekomendasikan beli dengan target harga Rp 285 hingga 2013.

Analis BNI Securities Maxi Liesyaputra juga merekomendasi beli dengan target harga Rp 310 per saham.

LSIP

Hitungan Andy Wibowo, P/E PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) akhir 2012 sebesar 9,7 kali. Sementara, P/E sektor perkebunan ia prediksi 15,4 kali. “Dibandingkan emiten sawit lain, secara fundamental LSIP punya diversifi kasi produk karet yang bisa meminimalisir risiko saat harga jual sawit turun tajam,” tandas Andy.

Di semester I-2012, bisnis karet London Sumatera menyumbang 9% dari total penjualan. Keuntungan lain berbisnis karet adalah bisa menikmati margin laba yang lebih besar dibanding sawit. Sepanjang enam bulan pertama 2012, margin laba kotor karet mencapai 62% dibanding sawit yang hanya 32%.

Andy memprediksi, harga rata-rata crude palm oil (CPO) akhir 2012 bisa menuju US$ 1.020 per metrik ton. “ Semester dua ini harga berpeluang naik mengikuti harga kedelai sebagai komoditas substitusi yang terus menanjak,” ujar dia. Andy juga memproyeksikan ada kenaikan produksi CPO yang signifikan dari London Sumatera. Secara historis, perbandingan produksi di semester satu dan dua adalah 40:60. Kenaikan produksi ini tentu akan menopang pendapatan London Sumatra jika harga CPO turun.

Namun, dalam jangka panjang, Andy mengingatkan efek aturan moratorium yang beberapa waktu lalu diterapkan pemerintah. Sebab, moratorium menghambat langkah emiten ini berekspansi dengan membuka lahan baru. Andy merekomendasikan beli saham LSIP dengan target harga Rp 3.200 per saham.

Pendapatan LSIP diperkirakan Rp 4,9 triliun di akhir 2012. Laba bersih dia prediksi naik tipis menjadi Rp 1,79 triliun dibanding 2011 yang sebesar Rp 1,7 triliun. Setelah menyimak ulasan ini, tugas Anda menganalisa saham sisanya atau memilih saham lain yang punya P/E murah dan berprospek menarik. Selamat berburu saham murah nan likuid!

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 50 XVI 2012 Saham

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait


TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×