Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga nikel akan cenderung volatile sepanjang tahun depan, seiring banyaknya sentimen yang membayangi komoditas logam ini.
Salah satu sentimen yang membayangi harga nikel adalah potensi terjadinya resesi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh analis Mirae Asset Sekuritas Juan Harahap, harga nikel mengalami koreksi setiap kali periode resesi.
Misal, pada resesi Amerika Serikat (AS) pada tahun 1990, 2001, 2008, dan 2020, terjadi penurunan harga nikel dengan kisaran antara 7,4% sampai 67,4% dengan rata-rata penurunan 32,5%, dimana penurunan terbesar terjadi selama resesi tahun 2008.
Baca Juga: United Tractors (UNTR) Akuisisi Perusahaan Nikel, Rogoh Kocek Hingga Rp 4,27 Triliun
Namun, Juan memperkirakan ada kenaikan permintaan nikel di China tahun depan, didukung oleh kenaikan aktivitas manufaktur seiring pemulihan konsumsi stainless steel di China.
China mencatat kenaikan produksi stainless steel sebesar 31,7% secara tahunan menjadi 2,4 juta ton pada Oktober. Kenaikan ini terjadi karena pemerintah China telah melonggarkan beberapa aturan Covid-19 yang ketat.
Senada, analis BRI Danareksa Sekuritas Hasan Barakwan menilai, pembukaan kembali ekonomi China akan berdampak signifikan bagi pasar stainless steel dan juga pasar nikel.
Sebab, baja anti karat masih menyumbang 70% dari konsumsi nikel dunia. Hasan mengestimasi harga nikel akan tetap solid di sisa kuartal keempat 2022.
Dia memperkirakan harga nikel untuk 2022 dan 2023 akan berada di level US$ 26.000 per ton dan US$ 21.000 per ton.
Sementara dari sisi suplai, Juan menyebut industri nikel Indonesia akan terus tumbuh di masa mendatang, mengingat pemerintah menargetkan 30 pabrik pengolahan (smelter) nikel beroperasi pada tahun 2024, dari sebelumnya hanya 19 smelter pada 2020.
Sebagai hasil dari ekspansi yang agresif ini, pemerintah memperkirakan produksi nikel akan mencapai 2,6 juta ton atau naik 12,5% secara tahunan pada tahun ini, dimana produk nickel pig iron (NPI) diperkirakan akan meningkat sebesar 25,0% secara tahunan.
Baca Juga: United Tractors (UNTR) Akuisisi Perusahaan Tambang Nikel
Adapun Indonesia sudah menyalip China menjadi produsen NPI terbesar di dunia sejak tahun 2020.
“Secara keseluruhan, kami berekspektasi pasar nikel global akan menjadi surplus di 2023 mengingat pertumbuhan kapasitas produksi dari nikel kelas 2 di Indonesia. Namun, kami melihat pasar nikel global dapat berubah menjadi defisit pada 2025, didorong oleh pertumbuhan permintaan yang kuat dari segmen baterai kendaraan listrik,” kata Juan.
Mirae Asset Sekuritas memperkirakan harga nikel global akan berada pada level US$ 24.500 per ton di tahun ini dan US$ 22.000 per ton pada 2023.
Masih solidnya harga nikel hingga akhir tahun membuat Hasan berekspektasi adanya pemulihan laba bersih emiten penambang nikel pada kuartal keempat. Proyeksi ini dengan menimbang adanya basis laba yang rendah pada kuartal ketiga 2022, sebagai dampak dari pelemahan harga nikel ditambah dengan melonjaknya biaya akibat dari naiknya harga batubara.
Dalam kondisi ini, Hasan cenderung menyukai penambang nikel dengan harga jual rata-rata alias average selling price (ASP) yang mengacu pada harga London Metal Exchange (LME).
Emiten tersebut adalah PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Ini karena sentimen harga LME cenderung bereaksi lebih cepat daripada harga NPI.
Hasan menyematkan rating overweight di sektor tambang logam. Saham PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) menjadi pilihan utama (top pick) karena MDKA merupakan pemain di sektor nikel dan tembaga.
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) Klaim Pembangunan Smelter Berjalan Sesuai Rencana
INCO juga menjadi top pick karena menjadi perusahaan yang paling sensitif terhadap perubahan harga nikel
Hasan merekomendasikan beli saham MDKA dengan target harga Rp 6.500 dan beli saham INCO dengan target harga Rp 8.500.
Hasan juga merekomendasikan beli saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dengan target harga Rp 3.500 dan beli saham PT Harum Energy Tbk (HRUM) dengan target harga Rp 2.700.
Sementara itu, Mirae Asset Sekuritas menurunkan rating sektor pertambangan logam Indonesia menjadi netral seiring proyeksi volatilitas harga nikel.
Juan memilih saham ANTM sebagai pilihan utama dengan memepertimbangkan pendapatan yang terdiversifikasi dari logam lain. Ada pula potensi tambahan pendapatan dari proyek smelter Halmahera.
Di sisi lain, ANTM juga memiliki lebih banyak eksposur ke proyek Indonesia Battery Corporation (IBC).
Dia merekomendasikan trading buy saham ANTM dengan target harga Rp 2.300 dan menyematkan rekomendasi hold saham INCO dengan target harga Rp 7.500.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News