Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan teknologi di Asia ramai-ramai mengantre listing di bursa saham. Terbaru datang dari AirAsia Group Bhd yang ingin mengantarkan lini bisnis digitalnya, AirAsia Super App atau AirAsia Digital, untuk melantai atau menggelar Initial Public Offering (IPO) di bursa Amerika Serikat (AS).
AirAsia Digital berencana masuk ke bursa AS melalui proses merger dengan perusahaan cek kosong (SPAC). Tony Fernades CEO Grup AirAsia mengatakan, sudah banyak SPAC yang meminati lini usahanya itu. “Kami telah menggandeng akuntan untuk rencana ini," ungkapnya dikutip Bloomberg, Kamis (8/7).
Di tengah hantaman pandemi Covid-19, maskapai berbiaya murah ini terus berupaya mengembangkan bisnis digitalnya. Perusahaan ini baru saja mengumumkan mengakuisisi Gojek di Thailand senilai US$ 50 juta.
Baca Juga: Bukalapak siap IPO, simak prospek dan rekomendasi dari analis berikut Ini
AirAsia Digital membidik pendapatan US$ 250 juta tahun ini dan ditargetkan bisa menyumbang 50% ke pendapatan perusahaan 5 tahun mendatang. Bisnis fintech milik AirAsia, BigPay, juga sedang mempersiapkan transaksi akuisisi. Fintech ini bakal segera masuk ke Thailand pasca akuisisi Gojek.
Selain AirAsia, sejumlah perusahaan teknologi juga telah menyiapkan rencana IPO jumbo. Sebagian berasal dari Indonesia seperti Traveloka, Bukalapak, dan GoTo. Dari Korea Selatan, ada Krafton Inc, perusahaan pembuat game dan Kakao Bank dengan membidik dana masing-masing US$ 5 miliar dan US$ 2,3 miliar. Dari Singapura, ada Grab Holding.
Bukalapak akan IPO dengan menjual 25,76 miliar lembar saham ke publik atau 25% dari modal ditempatkan dan disetor penuh dengan kisaran harga Rp 750- Rp 850 per lembar. Dana yang dibidik Bukalapak mencapai Rp 21,9 triliun
IPO Bukalapak akan dilakukan pada Juli 2021. Jika terlaksana, ini akan jadi IPO terbesar di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Namun, tonggak sejarah itu kemungkinan nantinya akan diambil alih oleh rencana pencatatan saham GoTo.
Baca Juga: Bukalapak IPO, berikut tata cara pemesanan sahamnya
Sepanjang semester I 2021 ini, perusahaan Asia berhasil menghimpun IPO US$ 82 miliar. Ini pengumpulan dana IPO terbesar di paruh pertama yang pernah terjadi. Rekor sebelumnya terjadi pada 2010 sebesar US$ 63 miliar.
Kinerja IPO pada paruh pertama tahun ini merupakan bagian dari tren global yang mencapai rekor pada paruh pertama, yakni US$ 351 miliar.
Riuhnya aksi IPO ini sejalan dengan suku bunga yang rendah dan likuiditas yang longgar membuat investor haus akan investasi dengan imbal hasil yang lebih tinggi. Saham teknologi berada di garis depan ledakan IPO ini.
Menurut pengamat pasar modal Universitas Indonesia UI Budi Frensidy, investor yang punya akses pada pemesanan saham IPO bisa memanfaatkan peluang.
Sebab harga sahamnya bakal melesat dalam jangka pendek karena emiten dan underwriter berkepentingan jaga harga sahamnya mulai listing sampai beberapa minggu.
Baca Juga: Gojek serahkan operasional unit bisnisnya di Thailand ke AirAsia
Biasanya akan ada periode lock up sekitar 6 bulan bagi investor strategis untuk jual sahamnya agar tidak terjadi penjualan masif. Selama masa itu maka harganya naik akan besar.
Namun, dia mengingatkan risikonya akan makin besar jika para investor yang sudah mendanai para unicorn itu keluar pasca listing.
"Tidak ada jaminan harga sahamnya naik setelah 6 bulan. Jika valuasinya sudah tak murah lagi atau tak sesuai fundamental maka akan terjadi reversal." jelasnya pada Kontan.co.id, Kamis (8/7).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News