Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) membukukan penurunan kinerja sepanjang semester pertama 2020. Pendapatan emiten yang berbasis di Sumatra Selatan ini turun 15,09% secara year-on-year (yoy) menjadi Rp 9,01 triliun dari sebelumnya mencapai Rp 10,61 triliun. Alhasil, laba bersih PTBA pun tergerus hingga 35,8% menjadi Rp 1,28 triliun.
Research Analyst Phillip Sekuritas Indonesia Debbie Naomi Panjaitan menilai, penurunan kinerja PTBA pada semester pertama disebabkan oleh penurunan harga batubara yang memang sudah terjadi sejak 2018. Hal ini kemudian diperparah oleh pandemi Covid-19. “Koreksi laba bersih PTBA pada semester pertama memang di luar ekspektasi, sejalan dengan harga batubara yang merosot dan permintaan yang belum pulih,” terang Debbie kepada Kontan.co.id, Rabu (30/9).
Debbie mengatakan, akhir-akhir ini harga emas hitam tersebut memang turun signifikan karena adanya isu relaksasi pembatasan impor batubara di China. Sejak 2018, Negeri Tirai Bambu tersebut menerapkan pembatasan impor batubara karena ingin mengonsumsi batubara produksi domestik.
Industri batubara di China pun sempat terdampak pagebluk Covid-19, terlebih pada kuartal pertama 2020. Namun demikian, pemulihan perekonomian China yang telah dimulai pada kuartal kedua 2020, diyakini Debbie akan kembali meningkatkan permintaan batubara dalam negeri China. Hal ini dibarengi dengan cadangan batubara dalam negeri China yang semakin berkurang, yang membuat harga batubara domestik China naik cukup signifikan.
Baca Juga: Bukit Asam (PTBA): Gasifikasi batubara bisa bantu menekan impor LPG
Bahkan, harga batubara di China mencapai US$ 80 per ton saat ini. Sedangkan, harga spot batubara acuan Newcastle masih di level US$ 57 per ton.
“Artinya, ada spread mencapai US$ 23 per ton. Spread yang cukup tinggi ini tidak baik bagi industri batubara China, sehingga diperlukan tambahan suplai batubara dari luar China. Rencana relaksasi impor tersebut menjadi sentimen positif dan angin segar bagi komoditas batubara,” imbuh Debbie.
Meski demikian demikian, Phillip Sekuritas Indonesia tetap memperkirakan harga spot acuan batubara Newcastle pada 2020 akan berada kisaran US$ 54,7 per ton, sebelum mencapai rata-rata US$ 64,7 per ton pada 2021. Hal ini memperhitungkan dampak dari pandemi, ditambah proses pemulihan ekonomi negara-negara, termasuk net importir batubara seperti India, Jepang, dan Korea Selatan yang masih belum pasti.
Senada, Analis Samuel Sekuritas Indonesia Dessy Lapagu menilai, secara industri, prospek emiten pelat merah ini masih cukup berat hingga akhir tahun. Meski demikian, permintaan batubara, terutama dari China, India, dan negara-negara Asia Timur diharapkan akan pulih dan mendorong kenaikan harga batubara lebih stabil pada tahun 2021 mendatang.
Baca Juga: Jaga kinerja, Bukit Asam (PTBA) akan fokus efisiensi
Dessy mengatakan, harga jual rata-rata batubara pada kuartal pertama 2020 berada pada level US$ 66 per ton dan turun signifikan hingga mencapai level US$ 53 per ton. Pada semester kedua ini, Samuel Sekuritas Indonesia memperkirakan harga batubara akan berada pada rata-rata level US$ 60 per ton. “Sehingga diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan kinerja yang lebih baik bagi PTBA dibandingkan kinerja semester pertama 2020,” ujar Dessy kepada Kontan.co.id, Rabu (30/9).
Di lain kesempatan, Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin juga optimistis kinerja PTBA pada semester kedua akan membaik dibanding semester pertama. “Lockdown di beberapa Negara sudah dibuka, bisnis mulai pulih dan berkembang. Beberapa pekan ini harga batubara sudah membaik. Kami optimis kinerja bisa lebih baik,” ujar Arviyan saat paparan kinerja yang digelar secara virtual, Rabu (30/9).
Dessy masih mengalkukasi ulang target harga saham PTBA yang baru seiring dengan rilis kinerja semester pertama. Sementara Debbie menilai, dalam jangka pendek PTBA masih berprospek dengan target harga Rp 2.300 dalam 12 bulan ke depan. Pada penutupan perdagangan hari ini, saham PTBA melemah 0,76% ke level Rp 1.970.
Baca Juga: Anjloknya harga batubara membuat akuisisi tambang menjadi tidak marak lagi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News