Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkara hukum yang melibatkan pendiri Grup Kresna, Michael Steven belum sampai ke ujung. Gugatan hukum dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih berlangsung dan kini sampai ke Mahkamah Agung (MA).
Pada pekan lalu, OJK telah mengajukan memori kasasi kepada MA atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang dikuatkan putusan tingkat banding dalam Perkara Nomor 437/G/2023/PTUN.JKT, yang mengabulkan gugatan Michael Steven terhadap OJK untuk membatalkan sanksi administratif dan Perintah Tertulis yang dikeluarkan OJK.
Michael Steven keberatan atas sanksi denda sebesar Rp 5,7 miliar dan perintah tertulis berupa larangan sebagai pemegang saham, pengurus, dan/atau pegawai di Lembaga Jasa Keuangan bidang Pasar Modal selama lima tahun. Adapun, berdasarkan hasil pemeriksaan OJK, Michael Steven merupakan pemilik manfaat terakhir (ultimate beneficial owner) PT Kresna Asset Management.
Michael diduga melakukan intervensi atas kontrak pengelolaan dana dari PT Kresna Asset Management untuk melakukan transaksi demi kepentingan Grup Kresna, sehingga merugikan konsumen. Sebagai pengingat, perkara hukum ini berpangkal dari gagal bayar polis Kresna Link Investa dan Protecto Investa Kresna yang dikelola oleh PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life) pada Februari 2020.
Baca Juga: Begini Modus Michael Steven di Kresna Group Hingga Berani Lawan OJK
Perkara hukum yang kembali mencuat ini memicu kekhawatiran akan munculnya sentimen negatif terhadap saham-saham yang terafiliasi dengan Grup Kresna. Saat ini, setidaknya ada delapan saham yang terafiliasi Grup Kresna.
Mereka adalah PT Quantum Clovera Investama Tbk (KREN), PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS), PT NFC Indonesia Tkbk (NFCX), PT Digital Mediatama Maxima Tbk (DMMX), PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA), PT Telefast Indonesia Tbk (TFAS), PT Asuransi Maximus Graha Persada Tbk (ASMI) dan PT Danasupra Erapacific Tbk (DEFI).
Dari delapan saham tersebut, tiga saham terkurung di papan pemantauan khusus, yakni KREN, ASMI dan DEFI. Saham DEFI bahkan berada di daftar saham yang berpotensi delisting. Meski di luar papan pemantauan khusus, tapi bukan berarti nasib kelima saham lainnya punya performa apik.
Pergerakan harga saham MCAS, NFCX, DMMX, DIVA dan TFAS, turun signifikan dengan level double digit secara year to date. Pada perdagangan Kamis (11/7), hampir semua saham terafiliasi Grup Kresna merosot. Lima saham turun dan sisanya bergerak stagnan.
Baca Juga: M Cash Integrasi (MCAS) Bidik Laba Double Digit di Tahun 2024
Founder WH-Project William Hartanto melihat belum tuntasnya perkara hukum yang menyeret pendiri Grup Kresna akan membawa sentimen negatif terhadap saham-saham terafiliasi. "Itu menjadi kekhawatiran, masih perlu diwaspadai. Bisa semakin menambah keinginan investor untuk exit," kata William kepada Kontan.co.id, Kamis (11/7).
Pengamat Pasar Modal & Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat sepakat bahwa investor perlu waspada terhadap risiko yang semakin besar di dalam saham-saham Grup Kresna. Pelaku pasar juga mesti hati-hati, lantaran harga yang sudah terjun tidak lantas membuat sahamnya menjadi menarik dan layak koleksi.
"Terlepas dari perusahaan bergerak di bidang apa pun, mau ada aksi korporasi atau apa pun, kalau owner-nya problematik ya hindari. Meski harga sahamnya sudah turun, enggak rekomendasi," tegas Teguh.
Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mengamini agar pelaku pasar waspada terhadap saham-saham Grup Kresna yang pergerakan harganya volatile dan sering tidak wajar. Apalagi ketika terjadi tren penurunan harga, seperti DIVA yang sudah downtrend sejak tahun 2021. "Ekspektasinya akan terus turun," kata Arjun.
Di sisi yang lain, Teguh menyoroti otoritas bursa dalam melakukan pengawasan saham, sekaligus saat menyaring calon-calon emiten yang menggelar Initial Public Offering (IPO). Di samping faktor fundamental, kredibilitas dan reputasi grup bisnis atau pemilik perusahaan mesti menjadi indikator penting untuk menilai kelayakan emiten.
Baca Juga: Saling Gugat OJK dan Grup Kresna, Tak Sampai Mengupas Tingkah Laku Pengelola Dana
Otoritas pasar modal juga harus cermat dan transparan dalam mengawasi transaksi, serta tegas menindak saat terjadi aksi "goreng saham". Maraknya saham-saham tak layak IPO hingga transaksi yang tak wajar akan membuat pasar saham menjadi tidak kondusif, bahkan kehilangan daya tarik.
"Saham jelek banyak, dia menyerap likuiditas pasar. Sehingga saham-saham yang bagus jadi kekurangan likuiditas dan akan sulit naik. Bukan hanya soal risiko investasi dari investor, tapi kenapa saham-saham jelek itu sejak awal dibiarkan lolos IPO?" tegas Teguh.
Adapun, pihak yang paling rentan dirugikan dalam hal ini adalah investor publik, terutama investor ritel. "Jumlah saham yang problematik terlalu banyak. Kalau sudah begini caranya, bahkan investor yang main benar pun kena juga imbasnya," ujar Teguh.
Sementara itu, William mengingatkan agar pelaku pasar harus cermat membaca volatilitas harga saham. Hal ini penting, supaya tidak gampang tergiur ketika ada lonjakan harga, lalu nyangkut atau terbanting di saham gorengan.
Perlu menilik lebih dalam ada faktor apa di balik perubahan harga saham, baik secara fundamental maupun teknikalnya. "Perhatikan laporan perusahaan dan penjelasan atas volatilitas perdagangan saham. Lihat juga spiking volume di grafik, ini bisa membantu memberi indikasi apabila terjadi aksi goreng secara tidak wajar," tandas William.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News