Reporter: Amalia Fitri | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penguatan rupiah yang tercatat pada penutupan pasar Rabu (8/1) ini, membawa dampak kondusif bagi pasar keuangan Indonesia.
Mengutip Blooomberg, Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun, berada di level 128,253 pada perdagangan Rabu (8/1). Angka ini turun sebanyak 4,55 poin atau 3,43% dari posisi perdagangan Selasa (7/1). Kemarin, CDS tenor 5 tahun berada di level 132,806.
Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia Anil Kumar mengatakan, sentimen ini terjadi karena dua hal, pertama risiko perang dagang antara Cina versus Amerika mulai mereda dan kebijakan Federal Reserve (The Fed) tidak seagresif waktu sebelumnya.
Kedua, hal itu punya dampak besar bagi emerging market (pasar perdagangan negara berkembang). "Bisa dilihat, di pasar perdangan Asia Pasifik, Indonesia dan Malaysia mengalami penurunan paling besar. Ini hal bagus," cetus Anil Kumar.
Sebagai informasi tambahan, negara yang mengalami penurunan CDS di kawasan emerging market Asia Pasifik, adalah Filipina, Jepang, dan Cina. Begitu pula CDS emerging market di kawasan AS, seperti Brazil, Kolombia, Meksiko, Argentina, Chili, Venezuela, dan Uruguay. Sementara di Benua Eropa, nilai CDS Rusia dan Turki juga ikut menurun.
"Ada flow yang beralih dari developed market, yakni AS, ke emerging market," jelas Anil.
Tak hanya itu, sentimen internal juga ikut mempengaruhi dengan menguatnya rupiah sebesar 0,16% atau 23 poin di level Rp 14.125 per dollar pada penutupan pasar Rabu (9/1).
Melihat hal tersebut, Anil optimistis CDS Indonesia berpotensi masih bisa turun 20 - 50 basis poin pada perdagangan besok. Tentu saja, optimisme tersebut harus dilandasi dengan kestabilan yield US Treasury. "Jika demikian, para investor akan mendapatkan capital gain," tambahnya.
Melihat proyeksi ke depan, dia juga melihat sentimen eksternal masih memainkan peran dominan dalam pasar dagang. Perang dagang yang akan segera usai, memberi angin segar bagi investor. Bagaimana pun, AS perlu dana besar menghadapi negara Tirai Bambu sejak tahun lalu.
"Untuk menekan Cina secara ekonomi, AS banyak menggelontorkan biaya dari kantong Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Nah, saat ini APBN sudah berada di tangan Partai Demokrat," jelasnya.