Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satgas Waspada Investasi mengklaim bahwa pertumbuhan entitas bodong atau ilegal sepanjang 2020 relatif lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Hal ini sejalan dengan terus meningkatnya literasi masyarakat akan investasi dan berbagai upaya edukasi yang terus dilakukan otoritas.
Ketua Satgas Tongam L Tobing mengatakan, jumlah entitas investasi ilegal, entitas gadai dan entitas fintech peer-to-peer lending ilegal yang telah dihentikan Satgas Waspada Investasi sepanjang 2018 hingga 2020 mencapai 3.604 entitas.
Rinciannya:
a. Tahun 2018, sebanyak 106 entitas investasi ilegal dan 404 entitas fintech peer-to-peer lending ilegal.
b. Tahun 2019, sebanyak 442 entitas investasi ilegal, 68 entitas gadai ilegal, dan 1.494 entitas fintech peer-to-peer lending ilegal.
c. Tahun 2020 (hingga September 2020), sebanyak 195 entitas investasi ilegal, 75 entitas gadai ilegal, dan 820 entitas fintech peer-to-peer lending ilegal.
"Pengaduan tahun ini tidak terlalu banyak dibandingkan tahun lalu. Pada 2019 SWI memperoleh 73 pengaduan terkait 20 entitas dan pada 2020 (hingga Juni 2020) Satgas Waspada Investasi memperoleh 5 pengaduan mengenai 4 entitas," kata Tongam kepada Kontan, Sabtu (26/9).
Meskipun demikian, Tongam mengaku pihaknya terus melakukan pencegahan dan perlindungan kepada masyarakat secara berkesinambungan.
Baca Juga: Waspada! Ini daftar 50 usaha gadai swasta ilegal
Dalam rangka mencegah kerugian masyarakat, begitu ditemukan ada dugaan investasi ilegal, SWI akan menindaklanjuti dengan melakukan pencegahan dan penanganan investasi ilegal, di antaranya dengan:
Tindakan preventif, seperti :
1) Pemantauan kegiatan Investasi Ilegal.
2) Koordinasi dengan anggota Satgas Waspada Investasi
3) Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat secara berkelanjutan dengan menekankan simplifikasi pencegahan keterlibatan masyarakat pada investasi ilegal yaitu 2L (Legal dan Logis).
Tindakan represif:
1) Menangani investasi ilegal sebelum banyak korban dengan menghentikan aktivitas entitas investasi ilegal.
2) Mengumumkan investasi ilegal kepada masyarakat melalui Siaran Pers.
3) Mengajukan blokir website dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
4) Menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri untuk proses penegakan hukum.
"Kami juga belum memperoleh data kerugian, karena pada dasarnya SWI berusaha keras untuk tidak menunggu ada atau bertambahnya kerugian masyarakat terlebih dahulu sebelum dilakukan penanganan," jelasnya.
Baca Juga: Ini daftar terbaru 32 investasi bodong, Alimama hingga King Poin termasuk
Adapun untuk modus yang marak dilakukan di tahun pandemi ini dijelaskan Tongam berupa penawaran investasi dengan skema member get member tapi tidak ada barangnya atau dengan modus berupa ebook, produk digital, market place, aplikasi belanja, periklanan, dan lainnya. Hal ini mengarah kepada skema ponzi. Umumnya, investasi ilegal memiliki ciri-ciri:
a. Menjanjikan keuntungan tidak wajar dalam waktu cepat
b. Menjanjikan bonus dari perekrutan anggota baru “member get member”
c. Memanfaatkan tokoh masyarakat / tokoh agama / Public Figure untuk menarik minat berinvestasi
d. Klaim Tanpa Risiko (free risk)
e. Legalitas tidak jelas seperti tidak memiliki izin, memiliki izin kelembagaan tapi tidak punya izin usaha, atau memiliki izin kelembagaan dan izin usaha tapi melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan izinnya.
Untuk itu, Tongam menekankan pentingnya untuk melakukan pengecekan 2L 2L (Legal dan Logis). Legal artinya masyarakat perlu teliti legalitas lembaga dan produknya.
Logis artinya pahami proses bisnis yang ditawarkan, apakah masuk akal, sesuai dengan kewajaran penawaran imbal hasil yang ditawarkan perbankan.
Baca Juga: Satgas Waspada Investasi bakal panggil Alimama pekan depan
"Contohnya, untuk perdagangan maka harus ada izin dari Kementerian Perdagangan RI. Cek juga apakah barang/jasa yang ditawarkan bisa dilakukan dengan skema yang digunakan," jelasnya.
Selanjutnya, perlu dicek lebih jauh apabila entitasnya mengaku sudah punya izin, sudah sesuai atau belum izin usahanya dengan apa yang ditawarkan.
Jangan sampai entitasnya menyatakan punya izin usaha untuk penjualan barang, ternyata izin usahanya untuk penjualan produk kecantikan, sedangkan yang ditawarkan adalah aplikasi (bukan barang).
Logis artinya pahami proses bisnis yang ditawarkan, apakah masuk akal, sesuai dengan kewajaran penawaran imbal hasil yang ditawarkan perbankan. "Jika ternyata apa yang ditawarkan disertai dengan iming-iming imbal hasil, maka perlu diwaspadai," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News