Reporter: Nur Qolbi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerbitan surat utang korporasi pada tahun 2024 diperkirakan bakal lebih semarak dibanding tahun lalu. PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) memproyeksi, jumlah penerbitan baru surat utang korporasi 2024 akan berkisar di Rp 148,15 triliun-Rp 169,05 triliun dengan titik tengah pada Rp 155,46 triliun.
Titik tengah tersebut 19% lebih tinggi dari realisasi tahun 2023 yang berada di sekitar Rp 130 triliun. Chief Economist PEFINDO Suhindarto menyampaikan, ada sejumlah faktor pendukung yang mendorong penerbitan surat utang korporasi di tahun 2024.
Pertama, kebutuhan refinancing lebih tinggi.
"Hal ini terindikasi dari nilai surat utang jatuh tempo pada 2024 yang mencapai Rp 150,5 triliun, lebih tinggi dari nilai surat utang jatuh tempo 2023 sebesar Rp 126,9 triliun," ucap Suhindarto saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (8/1).
Baca Juga: Pasar Obligasi Global Tertekan, Begini Dampaknya Terhadap Pasar Domestik
Kedua, aktivitas sektor riil yang terjaga berkat dorongan dari aktivitas kampanye menjelang Pemilu serentak yang membuat permintaan tetap kuat dan stabil. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 diperkirakan berkisar pada 4,8%-5,2% dengan inflasi pada rentang 2,0%-3,5%.
Ketiga, kondisi wait and see yang cenderung menurun seiring kepastian kontestasi Pemilu serta semakin jelasnya program prioritas yang diusung. Keempat, adaptasi strategi korporasi untuk menghadapi kondisi suku bunga yang higher for longer.
Adaptasi strategi tersebut terlihat dari semakin maraknya penerbitan surat utang dengan tenor pendek. Selain itu, saat ini juga terdapat ekspektasi bahwa akan terjadi penurunan suku bunga di tahun 2024.
Kelima, likuiditas lembaga keuangan yang semakin ketat. Kondisi ini membuat bunga pinjaman yang ditawarkan menjadi semakin mahal dan mendorong permintaan akan sumber pembiayaan alternatif, salah satunya melalui penerbitan surat utang.
Di sisi lain, Suhindarto juga melihat beberapa risiko yang berpotensi membuat penerbitan surat utang tidak sesuai dengan proyeksi.
Baca Juga: Bukan Suku Bunga The Fed Lagi, Kini Pasar Khawatirkan Quantitative Tightening (QT)
Pertama, lingkungan suku bunga yang lebih tinggi dengan periode yang lama seiring narasi higher for longer. Hal ini dapat terjadi jika inflasi di berbagai negara tidak kunjung menurun seiring dengan kondisi pasar tenaga kerja yang masih ketat.
Kedua, risiko geopolitik yang tinggi membuat yield bertahan tinggi karena ketidakpastian global akan membuat investor risk averse dan meminta premi yang lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan yield surat utang pemerintah akan tetap tinggi dan akhirnya berdampak pada yield dan kupon surat utang korporasi.
Apalagi, akhir-akhir ini, situasi geopolitik di Timur Tengah kembali memanas setelah serangan Houthi ke kapal kargo di Laut Merah, yang mana pada akhirnya berdampak pada biaya logistik global.
Ketiga, konsumsi mungkin melemah dibandingkan perkiraan seiring dengan suku bunga yang lebih tinggi. Akibatnya, bisnis menghadapi permintaan yang lebih lemah. Kondisi ini bisa berdampak pada kebutuhan modal kerja dan investasi bisnis yang kembali tertahan.
Keempat, premi risiko naik karena leverage meningkat akibat bunga lebih tinggi serta meningkatkan spread yield obligasi korporasi. Dengan begitu, premi akan tetap tinggi sehingga membuat biaya pinjaman juga tinggi.
Terakhir, potensi keluar arus modal mendorong penyerapan penerbitan lebih rendah. Situasi ini berdampak pada yield obligasi pemerintah dan akhirnya menyebabkan yield dan kupon obligasi korporasi tetap tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News