Reporter: Nur Qolbi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar negara berkembang, termasuk Indonesia diprediksi akan menghadapi tantangan dalam jangka pendek akibat kebijakan pengetatan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed. Hal ini diungkapkan oleh Direktur PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen Eri Kusnadi dalam acara BizInsight dengan topik :Strategi Investasi di 2022" yang berlangsung secara virtual, Selasa (25/1).
Sebagaimana diketahui, The Fed berencana menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 2-3 kali pada tahun 2022. The Fed juga mempercepat penyelesaian kebijakan pengurangan pembelian obligasi (tapering), dari pertengahan tahun 2022 menjadi dimajukan ke Maret 2022.
Menurut Eri, kebijakan pengetatan moneter oleh The Fed biasanya akan memberi tekanan ke nilai tukar dan yield obligasi negara berkembang. Dengan begitu, hal ini akan turut mempengaruhi pasar investasi secara keseluruhan, terutama di aset kelas obligasi dan saham.
Sentimen lain untuk pasar negara berkembang berasal dari China yang kini lebih menginginkan kualitas dibanding kuantitas pertumbuhan ekonomi. Alhasil, pertumbuhan ekonomi China tahun 2022 diprediksi akan berada di angka yang moderat sehingga pertumbuhan ekonomi negara maju berpotensi berada di atas negara berkembang.
Baca Juga: Tekanan IHSG Masih Berat, Cermati Saham-Saham Berikut
Tak ketinggalan, kemampuan negara-negara berkembang dalam menghadapi pandemi Covid-19 juga masih menjadi perhatian pelaku pasar. Mengingat, penyebaran Covid-19 yang tak terkendali dapat memicu diberlakukannya kembali karantina wilayah yang pada akhirnya dapat memukul prospek perekonomian.
Meskipun begitu, menurut Eri, banyak sekali indikator dari dalam negeri yang dapat menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih lagging pada 2021 memberikan ruang untuk tumbuh lebih optimal di tahun ini, sedangkan negara lain akan mulai mengalami normalisasi pada 2022.
Kedua, pemerintah Indonesia terus menjalankan program vaksinasi untuk memperkuat daya tahan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19 yang masih melanda. Pemerintah juga sudah mulai memberikan vaksin booster untuk wilayah-wilayah padat penduduk, padat aktivitas ekonomi, dan sudah mendapatkan vaksinasi tahap I dan tahap 2.
Ketiga, berbagai kebijakan dan manuver Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia dinilai menghasilkan kondisi makro prudential yang cukup baik. "Hal ini terlihat dari inflasi yang rendah dan cadangan devisa yang tinggi sehingga menghasilkan kinerja rupiah yang cukup baik," ungkap Eri Selasa (25/1).
Keempat, perekonomian Indonesia juga akan mendapat dorongan tambahan dari sektor new economy (perusahaan teknologi) yang masih akan mengundang masuknya investasi, terutama dari private equity. Dana investasi tersebut kemungkinan akan digunakan untuk aktivitas promosi yang pada akhirnya dapat membantu bergulirnya sektor riil.
Baca Juga: IHSG Lesu, Sentimen Ini yang Memberatkan
Eri mencatat, investment agreement antara private equity dengan perusahaan new economy pada tahun 2020 mencapai 437 kesepakatan dengan nilai pendanaan US$ 4,4 miliar. Kemudian, dalam kurun waktu enam bulan di tahun 2021, investment agreement yang tercipta sudah mencapai 300 kesepakatan dengan nilai pendanaan US$ 4,7 miliar.
Portofolio investasi
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi lebih tinggi, Eri melihat instrumen investasi saham menjadi yang paling menarik untuk tahun 2022, terutama bagi pelaku pasar dengan profil risiko agresif.
Meskipun begitu, dengan adanya tekanan dari The Fed, volatilitas diprediksi masih akan tinggi sehingga pelaku pasar juga harus tetap melakukan diversifikasi.
Menurut Eri, saham-saham yang akan mencatatkan kinerja bagus adalah saham dari sektor-sektor yang sensitif terhadap pemulihan ekonomi. Sebut saja emiten perbankan besar dan infrastruktur telekomunikasi.
Perbankan besar diprediksi akan melanjutkan pemulihannya sehingga akan mendorong pertumbuhan bottom line. Sektor infrastruktur telekomunikasi juga masih akan menjadi favorit seiring dengan masih tingginya permintaan data dari masyarakat serta pengembangan jaringan seluler oleh operator telekomunikasi.
Tak ketinggalan, saham-saham pertambangan logam dan otomotif juga bisa menjadi pilihan. Pertambangan logam masih akan memperoleh sentimen positif dari kebijakan hilirisasi komoditas, sementara otomotif diuntungkan dengan dilanjutkannya insentif PPnBM. "Meskipun begitu, kedua sektor ini sifatnya lebih teknikal jadi bisa berubah dalam waktu yang lebih singkat," kata Eri.
Sektor new economy juga dinilai masih sangat menarik, mengingat ada perusahaan teknologi besar yang berencana melaksanakan initial public offering (IPO) pada 2022. Hal ini dapat meningkatkan antusias para pelaku pasar dan menarik investor luar negeri untuk masuk ke pasar saham Indonesia.
Head of Investment & Liabilities Bank Commonwealth Ivan Kusuma menambahkan, momen terbaik untuk masuk ke pasar saham sebenarnya adalah pada kuartal IV, yakni antara bulan Oktober-Desember. Akan tetapi, karena sudah lewat, maka kuartal I-2022 juga bisa menjadi momen yang baik untuk mulai berinvestasi.
"Dalam 20 tahun terakhir, kuartal I itu lebih banyak hijaunya dibanding merahnya. Mungkin bukan yang terbaik tapi still a good time untuk mulai berinvestasi," ucap Ivan. Menurutnya, upside di pasar saham Indonesia untuk tahun 2022 ini cukup menarik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News