Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Prospek kinerja PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) akan didukung oleh harga unggas yang lebih stabil. Potensi meningkatnya permintaan ayam diharapkan mengurangi masalah kelebihan pasokan (oversupply).
Analis Maybank Sekuritas Jocelyn Santoso mengatakan, JPFA akan mendapat manfaat dari inisiatif pemerintah untuk mengatur pasokan unggas hidup (live bird) nasional. Hal itu dipandang seharusnya menstabilkan harga unggas hidup.
Intervensi pemerintah dalam industri unggas melalui penerapan kuota impor bibit induk ayam atau Grand Parent Stock (GPS) sebesar 530.000 ekor, dibandingkan 630.000 ekor sebelumnya. Selain itu, pemerintah mendorong adanya pemusnahan unggas Parent Stock secara sukarela.
Peningkatan harga unggas hidup akan menguntungkan emiten unggas, yang didukung pula pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan konsumsi unggas yang masih rendah. Di lain sisi, beban emiten unggas seperti JPFA dapat lebih ringan seiring adanya normalisasi harga bahan baku pakan yakni jagung dan kedelai.
‘’Kami juga percaya ada permintaan terpendam untuk unggas dari program makan bergizi, yang dimulai pada Januari 2025,’’ ungkap Jocelyn dalam riset 14 Januari 2025.
Baca Juga: Tuai Berkah Program Makan Bergizi Gratis, Cek Rekomendasi Saham Japfa Comfeed (JPFA)
Jocelyn turut menyoroti bahwa penerapan teknologi peternakan unggas dengan kandang tertutup oleh JPFA telah menciptakan lingkungan yang nyaman bagi ternaknya dengan menghilangkan panas ekstrem dan bau yang tidak sedap. JPFA pun mampu mengurangi tingkat kematian hingga kurang dari 1% dibandingkan dengan peternakan tradisional yang 10%.
Penggunaan pengering jagung dan Silo milik JPFA juga memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan jagung dengan harga yang lebih rendah. Ini berkontribusi pada perluasan margin keuntungan dalam jangka panjang.
Dengan berbagai faktor tersebut, Maybank Sekuritas memproyeksi, JPFA akan mencetak laba sebesar Rp 3,6 triliun di tahun 2025, lebih tinggi daripada perkiraan tahun 2024 sebesar Rp 3,02 triliun. Kinerja laba JPFA yang kuat didorong oleh asumsi margin laba yang meningkat karena mampu beroperasi secara efisien melalui ekosistem bisnisnya yang besar dan penerapan teknologi.
‘’Mengingat JPFA memiliki banyak katalis, kami percaya harga sahamnya juga akan mampu berkinerja karena pasokan dan permintaan unggas terus pulih, yang menghasilkan profitabilitas yang lebih tinggi untuk semua unit bisnisnya,’’ tutur Jocelyn.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Victor Stefano menilai, kinerja emiten unggas seperti JPFA akan didukung oleh pemulihan harga anak ayam umur sehari (DOC) dan Live Bird (LB) di tahun 2025. Proyeksi tersebut karena mempertimbangkan kelebihan pasokan daging ayam pedaging (broiler) yang diperkirakan lebih sedikit.
BRI Danareksa Sekuritas (BRIDS) memproyeksi kelebihan pasokan atau oversupply sekitar 397.000 atau setara dengan 14% dari total 2,8 juta pada 2025, lebih rendah daripada estimasi 600.000 atau setara 22% pada 2024.
Hal tersebut didorong oleh kuota impor Grand Parent Stock (GPS) yang lebih rendah sebesar 15% yoy sebesar 560.000 pada 2024. Selain itu, adanya peningkatan permintaan sebesar 5% sejalan dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
‘’Kami harapkan harga ayam yang lebih baik dari dinamika permintaan-penawaran (supply-demand) yang membaik,’’ tulis Victor dalam riset 12 Desember 2024.
Sementara itu, Victor memproyeksikan margin pakan yang lebih rendah di tahun 2025 karena harga bahan baku pakan kemungkinan akan naik. Asumsi BRIDS untuk harga jagung dan SBM di tahun 2025 masing-masing adalah Rp 5.670 per kg (+5,3% yoy) dan US$ 362 per ton (+5,4% yoy).
Harga jagung dan bungkil kedelai diperkirakan lebih tinggi karena kondisi cuaca yang diantisipasi. Sebab, musim hujan mendatang diperkirakan bertepatan dengan kondisi La Nina yang lemah berdasarkan data BMKG, yang berpotensi meningkatkan curah hujan hingga 20-40%.
Meskipun La Nina yang lemah dapat bermanfaat bagi produksi jagung karena menyediakan air yang cukup untuk tanaman, fenomena tersebut juga berisiko terutama jika menyebabkan bencana alam seperti banjir yang dapat mengganggu produksi jagung dan memengaruhi harga. Selain risiko produksi dari bencana alam, musim hujan bisa mendorong petani beralih untuk memproduksi lebih banyak beras yang membutuhkan lebih banyak air.
Pada bungkil kedelai, lanjut Victor, faktor geopolitik yang tidak terduga juga bisa mendorong harga, selain gangguan cuaca. Terlebih lagi, potensi peningkatan produksi kedelai global, yang didorong oleh perluasan area penanaman dan peningkatan hasil panen.
Brasil diperkirakan akan mencapai rekor panen kedelai, sementara produksi Argentina diproyeksikan sedikit melampaui estimasi tahun sebelumnya. Selain itu, ekspor kedelai global dan volume penggilingan juga akan tumbuh.
‘’Kami memproyeksikan margin pakan yang lebih rendah untuk 2025, tetapi diimbangi oleh margin yang lebih tinggi dalam bisnis komersial dan peternakan ayam pembibit,’’ ujar Victor.
Namun perlu dicatat bahwa estimasi kinerja JPFA ini belum memasukkan efek permintaan dari adanya program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintah. Program MBG baru efektif berjalan pada awal 2025.
Victor menyebutkan, implementasi program makan bergizi gratis diharapkan dapat mendorong permintaan unggas khususnya di segmen live bird atau ayam hidup. Selain itu, harga live bird diproyeksikan menjadi lebih stabil.
Program MBG juga akan menguntungkan integrator dengan membantu menyerap kelebihan pasokan ayam, memungkinkan mereka untuk menjual produk dengan harga di atas biaya, dan membuka pasar baru dalam segmen pasar massal,’’ jelasnya.
Victor mempertahankan peringkat Buy untuk JPFA dengan target harga sebesar Rp 2.800 per saham. Sedangkan, Jocelyn menyarankan Buy untuk JPFa dengan target harga sebesar Rp 2.300 per saham.
Selanjutnya: Bumi Resources Minerals (BRMS) Dongkrak Produksi Emas Jadi 75.000 Ons Troi pada 2025
Menarik Dibaca: 4 Strategi Plana Bangun Bisnis Sosial yang Berdampak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News