Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - Menurunnya jumlah kepemilikan asing pada perdagangan Surat Berharga Negara (SBN) menimbulkan pertanyaan. Pasalnya data ekonomi Indonesia yang mumpuni seharusnya tidak menjauhkan minat asing pada surat utang negara.
Mengacu pada data Direktorat jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Senin (14/8), kepemilikan asing di SBN sejumlah Rp 781,56 triliun. Jumlah tersebut turun dibandingkan Kamis (10/8) lalu yang mencapai Rp 783,61 triliun.
Walau demikian, kepemilikan asing masih naik 17,38% year to date dibandingkan akhir tahun lalu Rp 665,81 triliun.
Kepala Divisi Operasional Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Ifan Mohamad Ihsan mengatakan, outflow yang terjadi di pasar obligasi Indonesia disebabkan bayang-bayang sentimen negatif dari gejolak geopolitik antara Amerika Serikat dan Korea Utara. Menurutnya, investor lebih memilih menghindari risiko dengan memindahkan portofolio mereka kepada aset-aset safe haven seperti emas dan dollar.
"Kondisi tersebut meningkatkan kecemasan investor global yang tercermin dari indeks volatilitas global (CBOE VIX Index) yang sempat menyentuh level 16,04 atau tertinggi di tahun 2017," jelas Ifan kepada KONTAN, Selasa (15/8).
Namun, Ifan yakin, dalam jangka panjang, pasar obligasi Indonesia masih akan tumbuh ditopang berbagai data positif makro ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2017 menunjukkan kenaikan stabil di level 5,01% yoy, menjadi salah satu bukti penguatan ekonomi.
Cadangan devisa Indonesia bulan Juli juga mencapai rekor tertinggi di posisi US$ 127,76 miliar, serta rilis Neraca Pembayaran Indonesia triwulan II-2017 yang mencatatkan surplus sebesar US$ 0,7 miliar.
Jika kondisi ini bisa terus dipertahankan, pasar obligasi Indonesia bakal tetap menjadi pasar yang sangat menarik. Apalagi saat ini imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) masih sangat menarik dibandingkan dengan negara-negara emerging market lainnya.
Mengutip pergerakan obligasi Bloomberg, surat utang tenor 10 tahun milik Brazil dan Turki memberikan yield yang lebih tinggi di 10,03% dan 10,53. Sedangkan, yield SUN Indonesia di 6,85%. Namun demikian, rating kedua negara tersebut lebih rendah di bandingkan Indonesia, sehingga memberikan sentimen risiko yg lebih tinggi.
Berdasarkan laman tradingeconomics, peringkat untuk Indonesia tahun 2017 berdasar agensi Moody's berada di outlook positif dan di S&P berada di posisi stabil menjadi Investment Grade. Sedangkan peringkat Brazil tahun ini oleh S&P diturunkan menjadi BB yang berada dua level di bawah peringkat Indonesia. Turki juga menerima peringkat negatif dari kedua agensi.
Ifan melanjutkan, dengan parameter area Asia, yield 6,85% dari Indonesia untuk SUN tenor 10 tahun merupakan posisi kedua tertinggi setelah Pakistan di 7,98%, dan lebih baik dari India di 6,51%. Hal tersebut menunjukkan posisi obligasi Indonesia di Asia sangat baik dibanding negara lain. Bahkan menjadi yang terdepan di kawasan Asia Tenggara.
Sebagai informasi, Indonesia Composite Bond Index (ICBI, Senin (14/8), berada di level 229.17, tertinggi sepanjang masa. Pada umumnya posisi tersebut menunjukkan pertumbuhan indeks obligasi yang kian populer.
Ifan melihat dalam jangka pendek, jika ketegangan politik AS dengan Korea Utara mereda, maka peluang pasar obligasi Indonesia untuk kembali ke jalur hijau akan menguat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News