Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) angkat tangan terkait status kuasi reorganisasi PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). Wasit pasar keuangan tergintegrasi ini mengaku tidak bisa berbuat apa-apa.
Ini merupakan buntut dari akan dibatalkannya rencana penjualan saham PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) oleh perseroan.
"Itu (kuasi reorganisasi BNBR) kan sudah mendapat izin dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham), jadi tidak bisa diapa-apakan," ujar Noor Rachman Deputi Komisioner Bidang Pasar Modal I OJK, Senin (23/6) malam.
Sekadar informasi, dengan kuasi reorganisasi, suatu perusahaan boleh merevaluasi aset dan kewajiban pada nilai wajar sehingga menghapus defisit. Dengan mengeliminasi saldo laba negatif, perusahaan seakan sehat lagi, di atas kertas. Ini sebabnya proses ini disebut reorganisasi semu.
BNBR melakukan kuasi reorganisasi dengan menggunakan buku Juni 2011. Ketika itu, perseroan sudah bisa membukukan laba bersih, yaitu sebesar Rp 45,49 miliar.
Namun, naas, pada September 2011, perusahaan kembali merugi. Nah, salah satu satu syarat kuasi adalah perseroan memiliki saldo laba negatif yang material selama tiga tahun berturut-turut.
Namun, saldo laba negatif itu harus diikuti kinerja positif perusahaan. Pasalnya, hal itu menunjukkan perusahaan memiliki status kelancaran usaha dan memiliki prospek yang baik pada saat kuasi reorganisasi dilakukan.
Akhirnya, BNBR melakukan sejumlah langkah. Pertama menjual 23,8% saham Bumi Plc kepada PT Borneo Lumbung Energy Tbk (BORN). Nilai transaksi itu mencapai US$ 1 miliar. Kedua, menjual saham BTEL.
Hal ini dilakukan demi menorehkan pembukukan yang positif. BNBR menjual saham BTEL kepada Mount Charlotte Holding Ltd pada akhir 2011. Jumlah saham yang dilepas sebanyak 4,3 miliar di harga Rp 340-Rp 345 per saham. Ini merupakan harga premium. Pasalnya, ketika itu harga saham BTEL hanya Rp 260 per saham.
Sehingga, nilai transaksi mencapai Rp 1,5 triliun. Adapun, jangka waktu pembayaran terus molor dan disepakati dilakukan 31 Desember 2012. Namun, pada 7 Desember 2012, Mount Charlotte mengalihkan hak dan kewajibannya kepada Sky Trinity.
Pada saat itu disepakati, Sky Trinity harus membayar Rp 117,9 miliar pada 25 hari setelah jatuh tempo selanjutnya, yakni 7 Desember 2013. Namun, pada periode 1 Januari 2013 hingga 7 Desember 2013, perseroan hanya menerima Rp 157,6 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan BNBR per kuartal I-2014, piutang Sky Trinity masih mencapai Rp 1,18 triliun. Sehingga, total dana yang sudah diterima BNBR sekitar Rp 314 miliar.
Pada akhir 2013, piutang Sky Trinity ini sudah masuk kategori sebagai piutang tak tertagih. Nilainya, sebesar Rp 971,7 miliar.
Terkait hal ini, Noor Rachman mengaku, pihaknya akan melakukan pemeriksaan. "Karena belum ada yang seperti ini sebelumnya," tuturnya.
Kita tunggu saja, benarkah OJK akan menindaklanjuti hal ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News