Reporter: Narita Indrastiti |
JAKARTA. Awan mendung tampaknya masih betah berada di pasar obligasi. Pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) membuat asing melakukan aksi jual, termasuk memindahkan portofolio obligasi ke instrumen dollar AS yang lebih aman. Sentimen negatif dari zona euro masih mempengaruhi pelaku pasar untuk melakukan aksi menahan diri. Indeks Inter Dealer Market Association (IDMA) sebagai acuan harga obligasi pemerintah, akhir pekan lalu (25/5), menunjukkan penurunan tipis menjadi 106,2 dari sebelumnya 106,53.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, pekan ini harga obligasi kemungkinan masih akan tertekan karena situasi global masih belum menentu. Lana bilang, pekan lalu kontrak Non Delivery Forward (NDF) USD/IDR mengalami shock dan membuat harga dollar melesat. Hal itu membuat tekanan jual di pasar obligasi.
Pemilu Yunani yang masih belum jelas juga menjadi penyebab harga obligasi kemungkinan masih akan turun. Meski begitu, pekan ini, penurunan obligasi tidak separah pekan lalu. Tapi, Lana mewanti-wanti agar investor berhati-hati karena harga obligasi pemerintah masih belum di level terendah.
Karena itu, Lana berharap, pemerintah dan Bank Indonesia bekerja sama menjaga pasar. Lana menduga, pekan ini imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun bisa kembali melesat mencapai 6,7%. Sebagai catatan, saat ini yield FR0061 tenor 10 tahun adalah 6,4%.
Jika menilik data kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN), kepemilikan BI per (24/5) naik 51% menjadi Rp 8,05 triliun dari hari sebelumnya Rp 5,33 triliun. "Jadi memang kemarin BI sudah masuk untuk menstabilkan pasar," ujar Lana. Dia juga bilang, BI memang perlu masuk ke pasar Surat Utang Negara (SUN) untuk menstabilkan harga.
Analis obligasi Imam M.S mengatakan, tidak ada faktor penekan dari sentimen dalam negeri. Namun, data inflasi Mei yang akan dirilis pada 1 Juni mendatang diprediksi turut mempengaruhi harga SUN. Apalagi, tekanan inflasi di bulan-bulan selanjutnya masih akan besar.
Imam memprediksi, hingga pekan depan masih akan ada kenaikan yield rata-rata sebesar 10 - 20 basis poin akibat faktor eksternal. "Dengan ketidakpastian yang tinggi, kalaupun ada penguatan, sifatnya sementara," kata dia.
Investor menunggu
Saat ini persepsi pelaku pasar cenderung memburuk karena nilai tukar rupiah terhadap dollar masih koreksi. Krisis ini dimanfaatkan oleh investor untuk mengambil keuntungan dengan melepas instrumen portofolio lain seperti saham dan obligasi. Pekan ini, rupiah masih akan melemah dan menular ke pasar obligasi pemerintah. Hal itu akan mendorong asing untuk kembali menahan kepemilikan mereka di pasar SBN. "Ini semacam efek bola salju. BI harus bekerja sama dengan Kementerian keuangan untuk memberikan sinyal yang baik," kata dia.
Imam memprediksi, kenaikan yield masih dominan terjadi untuk obligasi tenor panjang di pekan ini. Pelaku pasar masih melakukan kalkulasi terhadap perkembangan di zona euro dan antisipasi kemungkinan Yunani keluar dari zona euro. Pasar masih menunggu pemilu Yunani pada pertengahan Juni mendatang. Selama hal ini masih belum jelas, investor akan memilih mengurangi aset di emerging market, termasuk Indonesia.
Sementara investor domestik lebih memilih wait and see dan akan lebih agresif ketika sudah ada perbaikan ekonomi Eropa dan kepastian inflasi di dalam negeri. Meski demikian, Imam mengatakan, investor yang mengikuti lelang obligasi pemerintah akan tetap banyak namun cenderung meminta yield yang tinggi. Begitu juga investor asing.
Kepemilikan asing di pasar SBN per (24/5) tercatat Rp 224,68 triliun, naik Rp 47 miliar dibandingkan hari sebelumnya. Tapi, jika dibanding akhir April, asing telah menjual Rp 4,19 triliun. Imam menduga, asing masih akan mengurangi kepemilikan SBN hingga akhir pekan ini. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News