Reporter: Muhammad Khairul |
JAKARTA. Harga minyak mentah belum beranjak dari level US$ 90-an per barel. Menutup pekan lalu, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) terangkat tipis 0,22% di level US$ 90,86 per barel.
Minyak jenis Brent juga menguat 0,26% menjadi US$ 106,83 per barel. Penguatan komoditas energi di ujung pekan lalu tersulut kenaikan tingkat kepercayaan konsumen di Amerika Serikat (AS).
Thomson Reuters/University of Michigan melaporkan, consumer confidence AS naik ke level 79,3, tertinggi sejak 2007. Negeri Paman Sam adalah konsumen minyak terbesar di dunia.
Di saat yang sama, minyak juga terimbas sentimen positif dari Iran. International Atomic Energy Agency (IAEA) menemukan bukti bahwa Iran telah meningkatkan produksi uranium yang berpotensi digunakan sebagai senjata nuklir. Iran terindikasi menaikkan pasokan uranium menjadi 145 kilogram sejak Februari lalu. IAEA juga menemukan uranium berkandungan tinggi sebesar 27% di Iran.
Kandungan uranium di atas 20% termasuk tinggi kendati kebanyakan bom nuklir memiliki kandungan uranium hingga 90%. Pemerintah Iran menyatakan, kenaikan tersebut adalah konsekuensi teknis di luar kendali operator.
Iran dan perwakilan negara-negara Barat plus China dijadwalkan bertemu kembali bulan depan setelah pertemuan akhir pekan lalu berakhir tanpa kesepakatan. Iran saat ini tercatat sebagai produsen minyak terbesar di dunia setelah Arab Saudi.
Bayang-bayang Eropa
Minyak juga terangkat sentimen pernyataan Angela Merkel, Kanselir Jerman, yang membuka diri terhadap opsi penerbitan obligasi bersama Uni Eropa. Merkel semula menolak ide ini dalam pertemuan Brussel pekan lalu. Namun, desakan partai oposisi di Jerman membuatnya berbalik sikap.
Kiswoyo Adi Joe, analis Askap Futures, menilai, penguatan tipis minyak adalah refleksi mulai rasionalnya pasar sehingga harga kembali tertahan di level support terkuat US$ 90. Pekan ini, ia prediksi, minyak akan bergerak di rentang US$ 90-US$ 95 per barel.
Sebelumnya, pekan lalu harga minyak sempat longsor ke US$ 89 tersulut kepanikan pasar akibat isu Yunani. “Level resistance terkuat ada di US$ 95. Jika belum tertembus level support dan resistance-nya, pergerakan minyak akan stagnan seperti saat ini," ujarnya.
Organisasi negara-negara pengimpor minyak (OPEC) diperkirakan tidak akan membiarkan minyak jatuh terlalu dalam. "Mereka akan kurangi pasokan," kata Kiswoyo.
Menurut Wahyu T. Laksono, pengamat komoditas dan valas, dari sisi teknikal, wajar jika harga minyak kembali bangkit karena sudah jenuh jual. Namun, sejatinya potensi penurunan harga minyak masih kuat secara teknikal.
Moving Average Convergence/Divergence baru memasuki area negatif. Average Directional Index juga negatif dan Relative Strength Index pun belum jenuh jual.
Selama level US$ 94 belum tertembus, harga minyak mentah berisiko merosot ke bawah US$ 90 per barel. Prediksi Wahyu, sepekan ini harga minyak bergerak di rentang US$ 87-US$ 94 per barel.
Sentimen utama penyetir harga minyak masih didominasi isu Eropa, terutama kelanjutan drama Yunani. "Jika Yunani keluar (dari Uni Eropa), minyak bisa ke US$ 80. Namun, jika isu ini mereda, bisa ke US$ 100 lagi,” kata Wahyu. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News