Reporter: Diade Riva Nugrahani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Nilai tukar mata uang di sejumlah negara-negara Asia, seperti Malaysia, China, Thailand, Singapura dan Jepang memang menunjukkan tren penurunan atas dolar Amerika Serikat (AS). Jika dibandingkan, ternyata, nilai tukar rupiah terbilang stabil. Hingga kini, mata uang rupiah masih bertengger di level Rp 9.100 – Rp 9.200 per dolar AS.
Sejumlah ekonom dan analis menilai, rupiah masih akan stabil hingga akhir tahun nanti. "Rupiah cenderung mendekati level Rp 9.100 sampai Rp 9.200 per dolar AS di akhir tahun," ujar Ekonom Standard Chartered Fauzi Ichsan. Meski demikian, Fauzi menilai, dalam jangka pendek rupiah masih akan tertekan selama satu hingga dua bulan ke depan.
Hal senada disampaikan Dealer Valas BRI Rachmat Wibisono. Ia melihat, penguatan rupiah selama ini lebih disebabkan adanya aksi penjagaan rupiah oleh bank sentral atau Bank Indonesia. Langkah ini biasa dikenal dengan intervensi. "BI menjaga laju pelemahan rupiah," katanya. Rachmat bilang, tren rupiah memang masih melemah. Namun nilai penurunnya tidak tajam seperti mata uang lain, melainkan jatuh secara perlahan.
Intervensi BI dalam pasar bisa muncul dalam beberapa bentuk. Misalnya saja, BI menjual cadangan devisa dalam bentuk dolar. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan menaikkan tingkat suku bunga. Ekonom Bank BNI, Tony Prasentiantono menilai jika BI memutuskan menaikkan tingkat suku bunganya hari ini, maka kecenderungannya, rupiah masih akan menguat dalam jangka pendek. "Hingga akhir tahun, dengan penjagaan seperti itu, rupiah akan berada di level Rp 9.100 sampai 9.400" kata Tony.
Tony juga bilang, kalau saja BI tidak mengintervensi pasar, maka rupiah akan terus melemah dan bisa mencapai level Rp 9.400 per dolar AS. "Apalagi saat ini cadangan devisa juga sudah mulai menipis," kata Tony. Yang menjadi masalah, BI tidak mungkin menaikkan tingkat suku bunga terus menerus. "Kalau BI rate terlalu tinggi, akan mengganggu ekspor dan perbankan," katanya. Sementara kalau terlalu rendah, juga akan mengganggu kestabilan perekonomian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News