Reporter: Dina Farisah | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Batubara diprediksi gagal mengatasi tekanan. Komoditas energi itu tetap melandai, kendati permintaan kemungkinan naik, mengikuti pertumbuhan permintaan menjelang akhir tahun.
Kontrak pengiriman batubara untuk Oktober 2012 di bursa ICE Futures, Jumat (5/10), senilai US$ 88,50 per ton, atau menguat 1,28% dari posisi penutupan hari sebelumnya. Namun jika diukur selama sebulan, batubara terkoreksi 4,53%.
Analis menilai, batubara masih sulit menanjak, selama permintaan dari China, yang merupakan konsumen terbesar di dunia, masih melambat. Pemerintah China sudah merevisi target pertumbuhan ekonomi di tahun ini menjadi 7%, dari semula 7,4%.
Kiswoyo Ady Joe, Managing Partner PT Investa Saran Mandiri, mengatakan, China tengah mengurangi permintaan batubara dari Indonesia. Selain karena terimbas perlambatan ekonomi global, China lebih mengandalkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) ketimbang batubara sebagai sumber energi.
"Namun karena saat ini sudah memasuki musim dingin, China kembali menggunakan batubara. Meski, permintaan juga tidak akan naik signifikan," ujar Kiswoyo.
Mengekor minyak
Kiswoyo mengatakan, pasokan batubara di Negera Tembok Raksasa itu masih memadai. Di sisi lain, cadangan batubara di Indonesia yang menumpuk, juga menimbulkan persepsi persediaan batubara masih aman. Inilah yang mengakibatkan langkah batubara sangat berat.
Macquarie Group Ltd menyebut, selama sisa tahun ini, harga batubara thermal di pelabuhan Newcastle Australia, yang merupakan harga patokan batubara thermal di Asia, hanya bisa meningkat hingga US$ 98 per ton.
Namun, setelah musim dingin berakhir, harga batubara diprediksi akan kembali anjlok. Kiswoyo menilai, sebagai komoditas energi, harga batubara tidak terlepas dari tren pergerakan harga minyak dan gas. Saat ini, tren harga minyak dan gas juga lesu.
Kiswoyo berpendapat, harga batubara berpeluang terbang hingga US$ 100 per ton. Asalkan, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI), menguat hingga mencapai US$ 120 per barel. Per Jumat (5/10), harga minyak WTI US$ 89,88 per barel.
Secara teknikal, Ibrahim, Analis Senior Harvest International Futures, menilai, harga batubara memang masih akan tertekan. Indikator moving average (MA) dan moving average convergence divergence (MACD) sebesar 60%, dan menuju ke bawah. Itu bisa diartikan, untuk beberapa waktu ke depan, batubara masih cenderung turun. Selain itu, indikator relative strength index (RSI) dan stochastic juga berada 70% ke bawah.
Prediksi Ibrahim, dalam seminggu ke depan harga batuabara akan bergerak di rentang US$ 86,50-US$ 89,70 per ton. "Sampai akhir Oktober, sentimen negatif masih berlimpah. Jadi, tekanan terhadap komoditas energi masih berlanjut," ujar Ibrahim.
Hingga akhir tahun, Kiswoyo menghitung, harga batubara hanya akan mampu menanjak di kisaran US$ 90-an per ton. Para analis sepakat, harga batubara masih menunggu perkembangan situasi perekonomian di Uni Eropa (UE), China dan India.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News