Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) terus memperlihatkan perkembangan positif. Teranyar, data-data ekonomi seperti angka pengangguran dan angka inflasi menunjukkan kondisi AS mulai pulih. Di satu sisi, stimulus senilai US$ 1,9 triliun sudah siap digelontorkan dan program vaksinasi terus berjalan.
Hal ini, pada akhirnya memicu rally kenaikan US Treasury dalam beberapa waktu terakhir, bahkan sempat menyentuh di level tertingginya yakni 1,56%. Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail, perbaikan ekonomi AS ini berpotensi menjadi peringatan bagi stabilitas ekonomi makro Indonesia.
Menurut Ahmad, saat ini kenaikan defisit anggaran AS sudah sangat tinggi. Ia bilang, sebelum Covid-19, jumlahnya hanya US$ 2 triliun. Namun, pada tahun lalu jumlahnya naik menjadi US$ 4 triliun dan berpotensi naik lebih tinggi lagi pada tahun ini.
Hal ini pada akhirnya memicu The Fed untuk memperbanyak penerbitan obligasi AS guna menutup defisit tersebut.
Baca Juga: Lelang SBSN Selasa nanti diperkirakan hanya akan kantongi Rp 20 triliun
Namun, masalahnya jumlah yang diterbitkan sudah terlalu tinggi dan The Fed tidak mungkin untuk membeli seluruh obligasi tersebut. Ahmad bilang, aksi beli yang dilakukan The Fed akan memicu kenaikan harga komoditas yang pada akhirnya akan ikut membuat angka inflasi juga naik.
“Guna mengimbangi kenaikan inflasi, US Treasury pun ikut dinaikkan, dan The Fed juga sudah mengamini langkah ini dari sikap terakhir Jerome Powell. Namun, The Fed kemungkinan hanya akan membeli setengah obligasi AS yang dikeluarkan, sementara setengahnya akan dibeli oleh dolar AS yang berada di luar Amerika,” kata Ahmad kepada Kontan.co.id, Minggu (7/3).
Ahmad menilai, ke depan yield US Treasury ke depan masih akan terus naik untuk mengundang investor global yang menempatkan dananya di luar pasar AS. Hal ini pada akhirnya akan turut berimbas pada Indonesia. Pasalnya, dana-dana tersebut di tempatkan di pasar emerging market seperti Indonesia.
Baca Juga: Saham dijagokan sebagai instrumen investasi berkinerja paling apik tahun ini
Artinya, akan ada potensi dana-dana tersebut ke luar dari pasar Indonesia untuk kembali masuk ke pasar AS. Ahmad menilai hal ini memicu investor asing akan melakukan aksi jual pada obligasi Indonesia dalam waktu dekat untuk memindahkan dananya ke pasar AS. Hal ini pada akhirnya akan berpotensi turut melemahkan rupiah.
“Ini sudah terlihat dari pergerakan rupiah yang terus melemah dan menyentuh Rp 14.300 per dolar AS pada Jumat (5/3). Bukan tidak mungkin, pelemahan rupiah ini akan berlanjut pada pekan ini ke level Rp 14.400 per dolar AS,” imbuh Ahmad.
Lebih lanjut, Ahmad menilai kondisi ini berpotensi tidak menguntungkan Indonesia. Jika investor asing terus keluar, maka yield harus ikut naik guna menarik minat investor asing. Namun, langkah ini berpotensi menekan cost of fund pemerintah yang akhirnya ikut membebani APBN.
Terkait rupiah, Ahmad melihat jika kondisi terus berlanjut, pelemahan tidak akan bisa dihindari. Pasalnya, pemerintah juga sudah dinilai tidak akan menerbitkan obligasi global lagi. Jika dilakukan lagi, tentu secara jangka panjang juga tidak akan bagus dampaknya.
“Jadi kemungkinan pergerakan rupiah akan dibiarkan, sesuai dengan fundamental pasarnya. Pemerintah kemungkinan hanya akan menjaga volatilitas agar tidak terjadi overshoot. Bukan tidak mungkin, hingga akhir tahun rupiah bergerak ke arah Rp 15.000 lagi,” pungkas Ahmad.
Selanjutnya: Hati-hati, rupiah rawan koreksi lagi di awal pekan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News