Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Momentum penguatan minyak diprediksi segera berakhir lantaran kenaikan produksi kembali mengancam harga. Kekhawatiran oversupply berpeluang kembali menghadang laju minyak di tahun ini.
Mengutip Bloomberg, Jumat (15/7) harga minyak WTI kontrak pengiriman Agustus 2016 di New York Mercantile Exchange menguat 0,59% ke level US$ 45,95 per barel. Dalam sepekan, minyak terangkat 1,2%.
Harga minyak pada akhir pekan memanas lantaran aksi kudeta pemerintah di Turki sempat mengganggu pengiriman minyak. Namun demikian, efek tersebut hanya akan bertahan sementara.
Vidi Yuliansyah, Research and Analyst PT Monex Investindo Futures mengatakan angka pertumbuhan ekonomi China kuartal II-2016 sebesar 6,7% atau di atas proyeksi 6,6% turut menambah sentimen positif bagi minyak.
Namun, kekhawatiran mengenai kelebihan pasokan minyak masih bertahan. Sementara proyeksi terbaru baik dari OPEC maupun International Energy Agency (IEA) menyatakan tingkat permintaan masih lemah.
BNP Paribas SA memperkirakan harga minyak dapat kembali ke bawah US$ 40 per barel lantaran peningkatan produksi akan menghambat minyak menuju keseimbangan dalam waktu dekat.
Menurut Vidi, bukan tidak mungkin harga minyak akan jatuh di bawah US$ 40 per barel jika ketidakpastian terus terjadi. Seperti adanya ketidakpastian akibat Brexit alias keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Salah satu kekhawatiran pasar adalah dampak Brexit terhadap pasar Eropa. "Dalam laporan terbarunya, OPEC juga menyinggung Brexit yang dapat mendatangkan resiko pada permintaan dan harga minyak," ujar Vidi.
Secara teknikal pun, harga minyak dalam fase koreksi lantaran telah memasuki area jenuh beli. Minyak memiliki kemungkinan menguat jika ada beberapa faktor yang mendukungnya seperti kenaikan harga saham atau pelonggaran moneter dari Bank Sentral di dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News