Reporter: Agung Hidayat | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara yang merangkak naik sejak akhir tahun 2016, ternyata, belum cukup meyakinkan bagi PT Mitrabara Adiperdana Tbk untuk menggelar ekspansi agresif. Ketimbang memacu target produksi, mereka memilih menjaga rencana produksi yang sudah ada.
Mitrabara merasa perlu mawas diri karena harga batubara fluktuatif. "Percuma kami lakukan peningkatan kalau pasar belum menyerap 100%. Khawatirnya, harga komoditas ini turun lagi," terang Chandra Lautan, Sekretaris Perusahaan PT Mitrabara Adiperdana Tbk saat ditemui usai Rapat Pemegang Umum Saham (RUPS) di Jakarta, Selasa kemarin (9/1).
Mitrabara tak menampik jika harga batubara belakangan ini cukup memuaskan. Pasar utama mereka sepanjang tahun lalu adalah ekspor dengan porsi di atas 90% terhadap total volume penjualan. Porsi sisanya barulah dari penjualan domesik.
Mayoritas produksi Mitrabara berupa batubara berkalori medium dengan kandungan low sulfur. Menurut perusahaan ini, jenis batubara tersebut sesuai dengan kebutuhan pelaku industri di negara yang menerapkan aturan ketat mengenai kebijakan lingkungan hidup. Salah satu contohnya adalah Jepang.
Mengintip laporan keuangan terakhir yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI), yakni periode 30 September 2017, Jepang menjadi kontributor penjualan terbesar bagi Mitrabara. Negeri Samurai tersebut bersaing dengan Taiwan pada posisi kedua. (Lihat infografis)
Adapun lokasi pertambangan Mitrabara berada di Malinau, Kalimantan Utara. Perusahaan berkode saham MBAP di BEI tersebut mengoperasikan empat hingga lima pit alias terowongan tambang. Kapasitas produksi mereka mencapai empat juta ton batubara per tahun
Namun, sejauh ini, Mitrabara belum mengungkapkan target produksi batubara tahun 2018. Mereka hanya menyatakan, produksi pada tahun ini hanya akan mengandalkan peralatan produksi pertambangan yang sudah dimiliki.
Proyek PLTBM
Selain bisnis pertambangan batubara, sejatinya, Mitrabara juga melebarkan sayap ke bisnis setrum. Rencana mereka adalah mengembangkan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBM) berkapasitas 10 megawatt (MW) di Malinau, Kalimantan Utara.
Hingga kini, proyek PLTBM tersebut masih dalam proses. "Kalau untuk pengembangan bisnis kami lakukan, tapi karena masih on progress kami belum berani bilang kapan start-nya," tutur Chandra.
Sembari mengawal sejumlah rencana bisnis, Mitrabara melanjutkan strategi efisiensi dari sisi biaya produksi. Perusahaan tersebut mengklaim telah memiliki sistem operasional dengan pengelolaan yang baik.
Meskipun telah mengungkapkan beberapa rencana bisnis tahun ini, Mitrabara masih menyimpan target kinerja 2018. Mereka juga mengaku belum menetapkan alokasi dana belanja modal alias capital expenditure (capex) tahun ini.
Sebagai informasi, salah satu sumber capex 2017 Mitrabara adalah dana perolehan hasil intial public offering (IPO). Tahun lalu sekaligus menandai terserapnya semua dana IPO yang mereka peroleh sejak tahun 2014. "Sudah diserap semua per September 2017. Mayoritas digunakan untuk pengembangan fasilitas infrastruktur kami," jelas Chandra.
IPO Mitrabara berlangsung pada Juli empat tahun silam dan meraup dana segar sebanyak Rp 159,54 miliar. Dari dana sebesar itu, sebanyak Rp 73,75 miliar dialokasikan untuk pengembangan fasilitas pelabuhan anak usaha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News