Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham emiten di sektor konstruksi dan infrastruktur tidak bergerak kokoh sejak awal tahun ini. Secara year to date (YTD), saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta di sektor ini kompak berkutat di zona merah.
Pada perdagangan Rabu (23/3) ini, saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 0,07% ke 6.996,11, sektor infrastruktur turut tergerus 0,63%. Sejumlah emiten swasta memang mampu mencatatkan kenaikan harian, tapi secara YTD masih memerah.\
Pendatang baru PT Sumber Mas Konstruksi Tbk (SMKM) mencatatkan kenaikan harian tinggi, yakni 20 poin atau 9,80% ke Rp 224. Meski begitu, angka itu masih di bawah harga initial public offering (IPO) yang sebesar Rp 264. SMKM baru melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu (9/3) lalu.
Emiten konstruksi swasta lainnya yang hari ini mencatatkan kenaikan adalah PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk (DGIK). Harga saham DGIK terangkat 13 poin atau 8,72% ke Rp 162. Namun, secara YTD masih minus 17,77%.
Baca Juga: IHSG Terkoreksi, Asing Banyak Melego Saham Ini pada Rabu (23/3)
Selain SMKM dan DGIK, PT Acset Indonusa Tbk (ACST), PT Indonesia Pondasi Raya Tbk (IDPR), PT Jaya Konstruksi Manggala Prata Tbk (JKON), dan PT Nusa Raya Cipta Tbk (NRCA) menjadi emiten konstruksi Non-BUMN yang harga sahamnya mengalami kenaikan tipis di hari ini.
Sayangnya, jika dihitung dari awal tahun ini, harga saham emiten-emiten tersebut masih merah. Nasib serupa dialami oleh emiten lainnya, yakni PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL) dan PT Paramita Bangun Sarana Tbk (PBSA). Sedangkan PT Totalindo Eka Persada Tbk (TOPS) berkutat menjadi saham gocap.
Analis Henan Putihrai Sekuritas Jono Syafei menilai bahwa saat ini emiten konstruksi dan infrastruktur Non-BUMN masih minim katalis positif. Meski ada peluang pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur, namun emiten BUMN lebih berpotensi untuk mendominasi pengerjaan megaproyek tersebut.
Baca Juga: IHSG Turun Tipis ke 6.996 Hingga Tutup Pasar Rabu (23/3)
Begitu juga dengan proyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seperti di Mandalika baru-baru ini, yang mayoritas digarap oleh emiten konstruksi BUMN. Di sisi lain, kontraktor swasta yang banyak menggarap proyek highrise seperti TOTL, TOPS dan DGIK masih mengalami perlambatan pertumbuhan karena saat ini pengembang cenderung mengerem pembangunan highrise.
Jono pun berharap, ke depannya emiten swasta bisa ikut terpapar sentimen positif dair implementasi program Sovereign Wealth Funds (SWF). Meski, efek dari SWF tersebut tampaknya tidak bisa dinikmati dalam waktu dekat ini.
"Jika proyek infrastruktur sudah berjalan, maka akan memberi dampak positif untuk pembangunan wilayah di sekitarnya dan diharapkan emiten konstruksi swasta juga dapat berpartisipasi," kata Jono kepada Kontan.co.id, Rabu (23/3).
Di tengah minimnya katalis positif dalam jangka pendek, Jono pun belum memberikan rekomendasi untuk emiten konstruksi swasta. Dia masih menyarankan pelaku pasar untuk wait and see.
Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto menambahkan bahwa sebenarnya baik emiten konstruksi BUMN maupun swasta, sama-sama membukukan kinerja yang kurang memuaskan selama pandemi. Sebagai akibat dari banyaknya proyek yang tertunda dan seretnya pembayaran.