Reporter: Petrus Sian Edvansa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kenaikan tingkat suku bunga Amerika Serikat (AS) sebesar 25 basis poin ke level 0,50%–0,75% dua pekan lalu bakal mempengaruhi pasar surat utang global, termasuk Indonesia.
Dalam situasi ini, manajer investasi menyesuaikan strategi portofolio bagi reksadana berbasis obligasi agar tetap bisa meraih imbal hasil tinggi. Tengok saja, Bahana TCW Investment Management.
Direktur Bahana TCW Soni Wibowo mengatakan, pihaknya kini aktif mencari obligasi yang memberi kupon lebih besar dan meningkatkan alokasi investasi ke instrumen kas dalam portofolio. Selain itu, Bahana TCW juga memperpendek durasi surat utang.
“Karena semakin panjang durasi, semakin dalam juga dampak negatifnya,” terang Soni.
Strategi yang sama diterapkan Direktur Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul Wawointana. Dalam mengelola reksadana pendapatan tetap, Sucorinvest akan memperpendek durasi surat utang. Lalu, porsi obligasi korporasi juga diperbanyak agar imbal hasil yang diperoleh bisa maksimal.
“Kami memilih go defensive,” kata Jemmy. Direktur Panin Asset Management Rudiyanto bilang, kenaikan suku bunga AS sejatinya sudah diantisipasi oleh para manajer investasi.
Racikan portofolio reksadana pendapatan tetap yang tepat menurutnya adalah kombinasi antara obligasi pemerintah yang likuid dengan obligasi korporasi yang memberi kupon menarik. Dengan strategi tersebut, diharapkan imbal hasil reksadana bisa optimal.
Head of Fixed Income Investment Samuel Asset Management Herbie Mohede menilai, kenaikan suku bunga AS memang berpengaruh besar ke pasar obligasi. Imbasnya juga akan terasa pada reksadana berbasis surat utang.
“Mengingat total kapitaliasasi obligasi AS meliputi 40% dari total seluruh kapitalisasi obligasi dunia,” kata dia.
Efek sementara Meski kenaikan suku bunga AS memberikan tekanan ke pasar surat utang, Jemmy masih optimistis dengan prospek reksadana berbasis obligasi. Menurutnya, efek yang ditimbulkan tak akan lama. Apalagi fundamental ekonomi Indonesia masih baik.
“PDB sudah mencapai bottom, lalu dana repatriasi yang masuk bisa dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur. Harga komoditas juga akan terus naik,” ujar Jemmy.
Herbie menambahkan, saat suku bunga The Fed naik, yield obligasi akan cukup menarik, sehingga mampu mendongkrak kinerja reksadana pendapatan tetap dalam waktu dekat. Ia berpendapat, obligasi Indonesia menjadi makin menarik, terutama bagi investor asing, karena ditopang oleh imbal hasil yang tinggi.
Meski begitu, investor harus tetap waspada dengan rencana The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali di tahun depan. Jika suku bunga naik secara agresif, hal tersebut bisa menjadi sentimen negatif bagi reksadana pendapatan tetap. Maklum, semakin tinggi suku bunga acuan di AS, semakin tertekan pula mata uang rupiah.
Selain itu, menurut Jemmy, situasi politik di dalam negeri juga harus dicermati. Jelang pemilihan kepala daerah (pilkada), situasi politik cenderung tak menentu. “Pengaruhnya ke foreign investment. Investor asing mungkin lari karena pasar modal membutuhkan kestabilan,” kata dia.
Apabila investor asing keluar dari pasar obligasi, maka harga obligasi berpotensi turun. Sepanjang tahun 2017, Jemmy memprediksi rata-rata return reksadana berbasis obligasi di kisaran 5%–8%. Sementara Soni memperkirakan, return reksadana berbasis obligasi akan mencapai 9% di tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News