kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jadi penahan turunnya IHSG, analis menilai sejumlah saham ini masih prospektif


Jumat, 18 Oktober 2019 / 18:28 WIB
Jadi penahan turunnya IHSG, analis menilai sejumlah saham ini masih prospektif
ILUSTRASI. Dua karyawan berbincang di Jakarta.


Reporter: Irene Sugiharti | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah saham besar masih jadi penahan penurunan IHSG selama Oktober. Beberapa di antaranya dibanjiri sentimen positif dan bergerak menguat.

Sepanjang Oktober 2019, kinerja IHSG tercatat anjlok lebih dari 3% dengan saham-saham seperti BBCA, CPIN, PGAS, GGRM, SMGR, TPIA dan INTP jadi saham penahan melorotnya IHSG. Jika dilihat dari kinerja pertumbuhan sahamnya, beberapa emiten pemberat IHSG tersebut justru menunjukkan performa yang positif.

Analis Bina Artha Sekuritas Muhammad Nafan Aji menuturkan, saham CPIN, GGRM maupun PGAS menjadi tiga saham penahan IHSG disebabkan oleh berbagai sentimen yang mempengaruhi masing-masing emiten.

“Memang kalau GGRM turun itu dipengaruhi oleh kebijakan kenaikan cukai rokok tahun depan yang memberatkan kinerja saham GGRM. Kalau saham CPIN dipengaruhi oleh isu terkait pakan ternak yang harganya tinggi sehingga mempengaruhi pergerakan harga saham. 

Sementara untuk PGAS, terkait penurunan laba bersih semester I-2019 menjadi Rp 162 miliar dari Rp 2,6 triliun di semester I-2018," tutur Nafan yang dihubungi Kontan.co.id Jumat (18/10).

Baca Juga: IHSG naik tipis pada akhir perdagangan sesi I hari ini

Jika dilihat kinerjanya, Nafan menuturkan PGAS masih menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan positif ini didorong dari wujud komitmen PGAS dalam rangka peningkatan distribusi gas, Efisiensi bisnis dan inovasi bisnis yang dilakukan PGAS seperti pembangunan penyaluran gas untuk kebutuhan rumah tangga. 

Dibuatnya beragam kebijakan strategis ini menurut Nafan menjadi sentimen positif yang membuat harga saham PGAS cenderung defensif terhadap sentimen-sentimen negatif yang mempengaruhi IHSG.

Begitu pula dengan GGRM yang walaupun terpengaruh oleh sentimen kenaikan cukai rokok dinilai Nafan tetap memiliki demand yang besar dan stabil serta terus berinovasi sehingga tetap akan digandrungi oleh pasar. 

Kinerja fundamentalnya secara tahunan masih menunjukkan tren kenaikan laba bersih sejak tahun 2012.

Untuk CPIN, Nafan menilai pertumbuhan positif CPIN didorong oleh sentimen impor jagung yang menjadi katalis positif bagi pergerakan saham CPIN setelah sebelumnya CPIN dipengaruhi oleh sentimen mahalnya harga pakan unggas. 

Selain itu Nafan juga menilai produk olahan yang juga menjadi salah satu barang produksi CPIN berkontribusi positif karena memiliki demand yang positif terkait kebutuhan pasar akan produk-produk makanan olahan.

Nafan menyimpulkan baik GGRM, CPIN dan PGAS hingga akhir tahun nanti sama-sama masih prospektif dan menarik untuk diakumulasikan menimbang beragam sentimen yang sudah disebutkan tersebut. 

Untuk saham CPIN, Nafan memberikan target poin di level Rp 7.320 untuk jangka panjang, GGRM di level Rp 65.500 setelah sentimen window dressing mulai terlihat dan PGAS di level Rp 2.360 dengan rekomendasi hold.

Sementara dari sisi sektor perbankan, Head of Research Narada Asset Kiswoyo Adi Joe menuturkan BBCA dan IHSG saling berkaitan. Pasalnya BBCA merupakan salah satu saham yang dapat menggerakan IHSG. 

Secara fundamental Kiswoyo menilai IHSG masih menunjukkan performa yang baik meskipun secara PER dan PBV Kiswoyo membenarkan BBCA memiliki angka yang lebih tinggi ketimbang emiten perbankan lainnya karena memiliki track record NPL yang rendah. Kiswoyo menargetkan harga saham BBCA di level Rp 33.000.

Baca Juga: IHSG berbalik ke zona merah, enam saham ini naik lebih dari 10%

Di sisi lain menurut analis MNC Sekuritas Catherina Vincentia, kinerja emiten semen SMGR dan INTP masih dipengaruhi oleh faktor oversupply semen, melambatnya permintaan saham hingga September 2019 serta terkait persaingan pasar domestik dengan produsen semen China yang menjadi sentimen penurunan return bisnis semen.

Pertama, isu oversupply semen yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga prediksi selama tahun 2020. 

Kedua, masih relatif melambatnya permintaan properti secara riil hingga 9M19 yang terefleksikan dari rendahnya realisasi rata-rata marketing sales developer dengan target di akhir tahun. 

Ketiga, "Tingginya tingkat persaingan pasar semen domestik yang disebabkan oleh semakin banyak produsen semen dari China yang menawarkan harga yang lebih murah,” tutur Cathy Jumat (18/10).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×