Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor sebaiknya perlu melihat lagi porsi profil portofolio investasi mereka di tengah fluktuasi pasar saham.
Asal tahu saja, Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan trading halt atau pembekuan perdagangan pada pukul 11.19 Jakarta Automatic Trading System (JATS) hari Selasa lalu (18/3) karena penurunan lebih dari 5%.
Di akhir perdagangan Selasa (18/3), IHSG ditutup melemah 248,56 poin atau 3,84% ke 6.223,39. Sebanyak 554 saham melemah, 118 saham menguat, dan 139 saham flat.
Investor asing masih keluar dari bursa sebesar Rp 2,49 triliun di seluruh pasar saat IHSG turun. Sementara, net sell asing di pasar reguler mencapai Rp 2,57 triliun.
Rabu (19/3), IHSG berhasil naik 1,42% ke 6.311,66. Namun, secara year to date (YTD) IHSG sudah merosot 10,85%.
Baca Juga: IHSG Tumbang, Luhut: Bisa Terjadi Dimana Saja
VP Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi melihat, penurunan IHSG kemarin terkait dengan sentimen-sentimen yang berasal bukan hanya dari kinerja emiten itu sendiri. Tetapi dari faktor kondisi ekonomi makro, serta terjadinya peningkatan risiko premium Indonesia.
Termasuk, dari depresiasi rupiah, peningkatan Credit Default Swap (CDS), dan spread yield dengan US Treasury (UST) tenor 10 tahun.
“Selain itu, tercatat ada aliran keluar dana asing dalam satu hari sebesar Rp 2,49 triliun,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (19/3).
Menurut Audi, sektor keuangan menjadi yang paling banyak dilepas asing secara year to date (YTD). Seperti, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dilego Rp 9,3 triliun, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 6,36 triliun, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Rp 3,6 triliun, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Rp1,58 T.
Dengan kondisi saat ini, IHSG pun diperkirakan akan bergerak di rentang level 6.530-6.650 untuk target moderate hingga akhir kuartal I 2024.
Target tersebut bisa tidak tercapai jika tekanan asing masing kuat seiring dengan realokasi aset yang masih terjadi, berlanjutnya depresiasi nilai rupiah, serta tidak terjadi perbaikan kinerja keuangan emiten.
“Investor asing pundapat kembali lagi masuk ke IHSG seiring dengan dimulainya pemangkasan suku bunga The Fed (FFR). Hal ini karena investor cenderung akan mencari aset yang memberikan return yang lebih tinggi,” ujarnya.
Sampai saat ini, secara tren memang IHSG masih dalam tren bearish, tetapi secara valuasi terdiskon dan bergerak di bawah rerata beberapa tahun. Tetapi investor juga perlu memperhatikan kondisi ekonomi makro dalam negeri dan juga global yang lebih kondusif, khususnya terkait perang dagang.
“Di tengah ketidakpastian, investor juga dapat melakukan diversifikasi aset kepada low risk atau safe havens sebagai bentuk hedging,” tuturnya.
Baca Juga: IHSG Naik 1,42% Hari Ini (19/3), Asing Masih Mencatat Net Sell Tebal Rp 910 Miliar
Investor pun masih bisa memilih saham blue chip, khususnya yang memiliki nilai intrinsik yang terdiskon dibandingkan harga pasar dan juga pembagian dividen. Sektor yang masih bisa dilirik di antaranya adalah keuangan, bahan baku, dan konsumer.
Audi merekomendasikan beli untuk saham BBCA, TLKM, BMRI, BRIS, dan ICBP dengan target harga masing-masing Rp 9.250 per saham, Rp 2.830 per saham, Rp 5.450 per saham, Rp 3.190 per saham, dan Rp 14.900 per saham.
Sentimen penekan
Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Indy Naila melihat, penurunan IHSG pada Selasa lalu secara dominan disebabkan oleh salah satu sentimen yang membuat asing keluar dari pasar saham, yaitu kebijakan-kebijakan dari pemerintahan baru domestik yang menyebabkan pasar Indonesia kurang menarik.
“Misalnya, baru-baru ini ada berita defisit APBN atau minimnya transparansi terkait program seperti danantara dalam optimalisasi,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (19/3).
Indy melihat, perlambatan ekonomi Indonesia dikhawatirkan akan terjadi dan ada tantangan dari pasar China yang dilihat investor asing lebih menarik dari sisi pemulihan ekonomi. Dari global pun juga sama, sentimen yang membuat pasar jatuh juga dari sisi kekhawatiran perang dagang yang membayangi.
“Sektor yang turun paling dalam dari sektor teknologi, barang baku dan energi,” ungkapnya.
Di akhir kuartal I 2025, IHSG kemungkinan masih akan cukup tertekan dengan kemungkinan bergerak di rentang 6.500-6.800. Alhasil, investor perlu memantau data-data ekonomi dan kinerja keuangan kuartal IV 2024.
Sementara, jika ada penurunan suku bunga acuan dan soft-landing dari perekonomian global, maka bisa mencapai level 7.200-7.600 di akhir tahun 2025.
“Asing bisa kembali lagi saat sudah ada implementasi program efisien dan perekonomian Indonesia resilien,” tuturnya.
Baca Juga: IHSG Menguat pada Rabu (19/3), Simak Sentimen Penopangnya
Sekarang investor masih perlu wait and see, karena IHSG bisa bergerak cukup sideways. Sektor yang aman sekarang dari konsumer bisa cukup aman.
“Sektor yang perlu hati-hati dipantau adalah sektor energi. Sebab, juga baru-baru ini rilis kebijakan tarif royalti yang dikhawatirkan dapat menekan laba,” katanya.
Indy pun menilai investor bisa memerhatikan saham INDF dan JPFA dengan target harga masing-masing Rp 8.025 per saham dan Rp 2.170 per saham.
Peluang
Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan melihat, kondisi pasar saat ini bisa menjadi peluang bagi investor untuk beli-beli sejumlah saham dengan harga bargain. Sebab, beberapa saham saat ini bisa mendapatkan imbal hasil dividen yang optimal dan untuk trading cepat memanfaatkan rebound pasca crash.
Untuk sektor atau emiten memang turun dalam salah satunya adalah emiten konglomerasi. Misalnya, saham emiten milik Prajogo Pangestu bahkan sempat ada di zona auto rejection bawah (ARB).
“Lalu, emiten Grup Agung Sedayu, yaitu PANI dan CBDK juga sama pergerakannya,” ujar Felix kepada Kontan, Rabu (19/3).
Di kuartal I 2025, IHSG bisa terkonsolidasi di kisaran level 6.300. Ini sembari pasar menanti berbaliknya tekanan jual dari investor serta bagaimana arah kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI).
Baca Juga: IHSG Menguat, Disokong Sentimen Keputusan Buyback Tanpa RUPS
Dengan kondisi saat ini, investor bisa masuk secara bertahap, khususnya pada emiten yang secara valuasi murah, performanya stabil, serta potensi dividen yang baik.
“Sektor yang masih layak diperhatikan investor adalah sektor konsumer, healthcare, dan perbankan,” ungkapnya.
Direktur BPAM, Eri Kusnadi menerangkan, pasar saham akan selalu volatil dan dalam kondisi tertentu akan lebih tinggi daripada kondisi lainnya. Sehingga, menarik atau tidaknya pasar saham sangat bergantung pada perspektif investor.
“Bagi investor agresif, ini justru kesempatan bagus dan melihat penurunan ini sebagai opportunity,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (19/3).
Beberapa sektor yang dilihat Eri, cenderung defensif adalah konsumer dan konsumer nonsiklikal. Meskipun begitu, Eri menyarankan investor untuk mendiversifikasikan aset ke sejumlah aset.
Ke depan, iklim investasi masih akan fluktuatif karena kebijakan politik Amerika Serikat (AS) dan juga kebijakan dari dalam negeri.
“Siapa pun pemerintahannya, ketika baru memimpin, tentu akan butuh waktu di awal untuk melakukan penyesuaian program-program unggulan,” paparnya.
Profil investor
Eri pun menyarankan agar investor juga menghindari aset investasi yang sensitif dengan suku bunga. Bukan karena kinerjanya jelek, tetapi butuh waktu untuk menghasilkan kenaikan.
Untuk investor konservatif, bisa menaruh dana di reksadana pasar uang sebesar 50%-75% dan reksadana pendapatan tetap 25%-50%.
Untuk investor moderat, bisa mengalokasikan dana di reksadana pasar uang sebesar 30%-50%, reksadana pendapatan tetap 40%-50%, serta reksadana campuran dan saham 30%-40%.
Untuk investor agresif, porsi investasi bisa ditaruh 20%-30% di reksadana pasar uang, di reksadana pendapatan tetap 20%-30%, serta reksadana campuran dan saham 40%-60%.
Baca Juga: IHSG Tertekan! OJK: Pasar Modal Indonesia dalam Status Berfluktuasi Signifikan
CEO and Founder Finansialku, Melvin Mumpuni menyarankan investor untuk kembali mengecek tujuan investasi dan mereview portofolio investasi. Investor perlu melakukan evaluasi apakah saham-saham di portofolio investasi masih sesuai.
“Jika harga saham turun tetapi fundamental perusahaan tetap bagus, maka kita bisa ambil kesempatan untuk beli lagi,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (19/3).
Di tengah volatilitas pasar, aset yang sedang mengalami kenaikan dari emas. Selain itu, investor bisa memaksimalkan investasi di surat berharga pemerintah seperti sukuk tabungan yang baru rilis.
“Investor tidak perlu panik, karena pada saat sekarang banyak produk investasi yang sedang terkoreksi,” tuturnya.
Melvin menilai, pasar tengah merespons kebijakan-kebijakan pemerintah baru. Pemerintah mungkin sedang bergerak sangat cepat mengejar target pertumbuhan 8% dalam 5 tahun.
Pergerakan yang cepat tentu bukan hal yang lazim, sehingga banyak investor asing masih wait and see, atau bahkan menurunkan bobot investasi di Indonesia.
Namun, sudah ada beberapa sentimen positif dari rilis APBN Indonesia. Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan dirinya tetap menjalankan jabatannya.
“Jadi isu Sri Mulyani sebagai menkeu resign tampaknya hoaks,” ungkapnya.
Dengan sentimen tersebut, investor moderat disarankan untuk menaruh 40% dana investasi di saham, 40% di obligasi, dan 20% di reksadana pasar uang.
Untuk investor konservatif, disarankan menaruh dana 35% di reksadana pasar uang, 40% di obligasi, dan 25% di saham
Untuk investor agresif, investor bisa menaruh 70% dana di saham, khususnya value stock dan core stock. Lalu, 20% dana di obligasi dan 10% di reksadana pasar uang.
Selanjutnya: Aksi Boy Thohir dan Keluarga Borong 7,3 Juta Saham Adaro Andalan (AADI)
Menarik Dibaca: PLN Perkuat Talenta Masa Depan dengan Program Ikatan Kerja ITPLN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News