Reporter: Kenia Intan | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tahun 2020 secara resmi ditutup, Rabu (30/12). Mengutip data dari RTI Business, di hari perdagangan terakhir tahun 2020 IHSG menurun 0,95% ke level 5.979,07. Dilihat sejak awal tahun, IHSG cenderung melemah 5,09%.
Kendati IHSG ditutup melemah, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto tetap apresiasi pasar modal Indonesia dalam menghadapi gejolak perekonomian sepanjang tahun 2020. Dia juga mengharapkan ketahanan pasar modal menjadi salah satu instrumen untuk mempercepat upaya pemulihan ekonomi nasional.
"Dengan adanya UU Cipta Kerja, vaksin Covid-19 dan resilient investor ritel serta transparansi dan akuntabilitas maka pasar modal Indonesia akan semakin stabil dan pulih di 2021," ungkap Airlangga dalam siaran pers penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia 2020, Rabu (30/12).
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan komitmennya untuk selalu mendukung program percepatan pemulihan ekonomi nasional. OJK juga mengeluarkan kebijakan stimulus lanjutan secara terukur dan tepat waktu untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.
Baca Juga: Ini sentimen yang membuat IHSG diprediksi menguat ke 6.808 pada 2021
Adapun selama pandemi Covid-19, OJK bersama self-regulatory organization (SRO) pasar modal telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menjaga daya tahan dan mengendalikan volatilitas akibat gejolak perekonomian dampak pandemi Covid 19. Kebijakan tersebut juga selaras dengan upaya pemerintah dalam menjalankan program Pemulihan Ekonomi Nasional.
"OJK telah mengeluarkan banyak kebijakan pre-emptive dan extraordinary untuk menjaga kepercayaan dan stabilitas pasar, memberikan ruang bagi sektor riil untuk bertahan dan menjaga fundamental lembaga jasa keuangan,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
Selama Maret hingga Desember 2020, OJK mengeluarkan 35 kebijakan pasar modal yang memiliki fokus dalam tiga hal.
Baca Juga: Kondisi membaik, BEI berpeluang revisi target di tahun depan
Pertama, relaksasi bagi pelaku industri antara lain mengatur penyelenggaraan RUPS yang dapat dilakukan secara elektronik. OJK juga mengeluarkan relaksasi terkait kewajiban pelaporan, dan relaksasi kebijakan dan stimulus SRO kepada stakeholder terkait. Relaksasi ini bisa berupa perubahan dan atau diskon pungutan atau biaya kepada pelaku industri, serta pengecualian pemenuhan prinsip keterbukaan bagi emiten atau perusahaan publik yang merupakan lembaga jasa keuangan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
Kedua, pengendalian volatilitas dan menjaga kestabilan pasar modal dan sistem keuangan, antara lain dengan pelarangan short selling untuk sementara waktu dan diperbolehkannya buyback saham tanpa melalui RUPS oleh emiten. Ketiga, kemudahan perizinan dan penyampaian dokumen serta pelaporan, antara lain dengan Implementasi Tanda Tangan Elektronik Pada Sistem Perizinan dan Registrasi Terintegrasi (SPRINT) Modul Wakil Manajer Investasi dan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana dan kemudahan Emiten/Perusahaan Publik serta pihak lain dalam menyampaikan laporan dan surat menyurat kepada OJK melalui SPE-IDX.
Kebijakan-kebijakan tersebut mampu meredam volatilitas dan menjaga kondisi pasar, ini tercermin dari menguatnya IHSG di pengujung tahun 2020. Asal tahu saja, IHSG sempat menyentuh di atas level 6.000 tepatnya 6.036,17 pada penutupan 29 Desember 2020. Dengan kata lain, IHSG menguat hingga 53,7% dibanding level terendahnya sepanjang tahun 2020 yakni 3.937,6 pada 24 Maret 2020 yang lalu.
Baca Juga: IHSG turun 5,09% sepanjang tahun 2020, net sell asing mencapai Rp 53 triliun
Seiring dengan itu, kepercayaan investor di pasar modal ikut meningkat. Per 29 Desember 2020, jumlah investor pasar modal juga tercatat naik sebesar 56% dari 31 Desember 2019 sebesar 2,48 juta menjadi sebanyak 3,87 juta. Peningkatan jumlah investor ini didominasi oleh investor domestik yang berumur di bawah 30 tahun yang mencapai sekitar 54,79% dari total investor.
Nilai pengelolaan investasi di pasar modal masih meningkat di tengah pandemi. Hingga 28 Desember 2020, terdapat peningkatan NAB reksadana sebesar 6,85% dari sebelumnya Rp 542,2 triliun pada 30 Desember 2019, naik menjadi Rp 579,33 triliun.
Secara akumulatif per 29 Desember 2020, jumlah asset under management (AUM) reksadana, reksadana penyertaan terbatas (RDPT), kontrak investasi kolektif (KIK) dana investasi real estate (DIRE), KIK dana investasi infrastruktur (DINFRA), KIK efek beragun aset (EBA), dan kontrak pengelolaan dana (KPD) juga naik sebesar 2,28% dibandingkan posisi 30 Desember 2019 dari Rp 802,65 triliun menjadi Rp 820,98 triliun.
Jumlah total produk RDPT, KIK DIRE, KIK DINFRA, KIK EBA, dan KPD per 29 Desember 2020 sebanyak 597 dengan jumlah total nilai dana kelolaan Rp 249,92 triliun.
Sepanjang tahun 2020, OJK mencatat telah mengeluarkan surat pernyataan efektif atas pernyataan pendaftaran dalam rangka penawaran umum untuk 169 emisi yang terdiri dari 48 penawaran umum perdana saham, tujuh penawaran umum efek bersifat utang dan/atau sukuk, 16 penawaran umum terbatas, 45 penawaran umum berkelanjutan efek bersifat utang dan/atau sukuk tahap I, dan 53 penawaran umum berkelanjutan efek bersifat utang dan/atau sukuk tahap II, dengan total nilai hasil penawaran umum sebesar Rp 118,70 triliun. Dari 169 aktivitas penawaran umum selama tahun 2020 tersebut, 48 di antaranya merupakan emiten efek bersifat ekuitas baru dan enam emiten efek bersifat utang dan atau sukuk baru.
Baca Juga: Kurs rupiah melemah 1,33% sepanjang tahun ini ke Rp 14.050 per dolar AS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News