kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,47   -12,05   -1.29%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menimbang prospek dan tantangan industri farmasi di tengah ketidakpastian global


Senin, 06 Mei 2019 / 16:24 WIB
Menimbang prospek dan tantangan industri farmasi di tengah ketidakpastian global


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten di sektor farmasi gencar meningkatkan kinerjanya di kuartal I 2019. Menilik laporan kinerjanya hingga akhir Maret 2019 beberapa emiten membukukan kinerja cemerlang, tapi banyak juga yang merugi.

Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi menilai, dalam dua tahun terakhir ini sektor farmasi mengalami tekanan berat karena gejolak perekonomian global dan defisitnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). “Namun sebelum menutup 2018, sentimen positif mulai menghampiri industri obat-obatan ini,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (6/5).

Lucky menjelaskan terjadi penguatan nilai rupiah yang meringankan perusahaan farmasi mengimpor bahan baku. Ia menekankan peningkatan nilai tukar ini jangan sampai membuat perusahaan farmasi terlena, pasalnya industri ini masih dipengaruhi oleh harga minyak dunia.

Menurut Lucky bila ke depan harga minyak dunia memperlihatkan tren meningkat, beban biaya akan naik. Jadi, penguatan nilai tukar, tidak akan signifikan mengurangi beban biaya perusahaan.

Selain itu, pemerintah juga sudah berupaya mengkaji penyelesaian pembengkakan defisit BPJS Kesehatan yang menjadi pembeli terbesar obat-obatan di dalam negeri.

Kebijakan untuk menyelesaikan masalah BPJS ini ditunggu-tunggu produsen obat karena berpengaruh signifikan terhadap kinerja industri farmasi.

Menilik data APBN 2019, pemerintah mengalokasikan total anggaran kesehatan sebesar Rp 123,1 triliun atau naik sekitar 10% dibanding belanja kesehatan tahun lalu. Arah kebijakannya adalah peningkatan kualitas dan akses keberlangsungan pelayanan fasilitas kesehatan.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, program pemerintah terhadap layanan kesehatan yang terjangkau untuk masyarakat menjadi katalis positif bagi emiten farmasi. “Sepanjang nilai tukar stabil hal ini juga berimbas positif pada profit perusahaan farmasi,” jelasnya.

Menurut Wawan, walaupun penjualan meningkat karena kebutuhan obat-obatan naik 6,5% tahun ini, tentu saja terdapat tantangan lain seperti cashflow penerimaan dan margin keuntungan.

Saat ini, penjualan terbesar masih disumbang oleh obat generik yang harganya diatur oleh pemerintah, sehingga perusahaan farmasi juga harus optimal dalam menjual obat-obatan yang diresepkan dokter untuk meningkatkan profit. 

Wawan menyatakan perusahaan farmasi yang mampu meningkatkan kapasitas produksilah yang memiliki potensi pertumbuhan harga terbesar. Dalam menjawab tantangan itu, beberapa emiten farmasi melakukan aksi non-organik untuk menyelamatkan perusahaannya, yaitu dengan upaya akuisisi.

Misalnya saja PT Kimia Farma (KAEF) yang mengakuisisi saham mayoritas PT Pahpros Indonesia (PEHA) sebesar 57% atau senilai Rp 1,361 triliun. Tujuannya untuk meningkatkan pangsa pasar Kimia Farma sekaligus memperluas jaringan distribusi.

Sebelumnya KAEF juga sudah mengakuisisi jaringan ritel farmasi asal Arab Saudi Dawaa Medical Ltd.Co hingga 60% saham. Tujuannya untuk ekspansi ke Timur Tengah dan menyasar jamaah dari Indonesia.

Sementara itu, ada emiten lain yang lebih fokus pada penerimaan organik, yaitu PT Kalbe Farma (KLBF, anggota indeks Kompas100 ini, ). Emiten ini berupaya membangun pabrik obat baru demi memenuhi permintaan obat di dalam negeri maupun pasar ekspor.

Di antara dua emiten ini Wawan paling rekomendasikan investor untuk mencermati KLBF yang punya prospek paling baik ke depannya. Kemudian baru dilanjutkan KAEF yang juga peluangnya bagus di sepanjang 2019 ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×